Feeds:
Pos
Komentar

Archive for September 13th, 2011

TERPERANGKAP LILITAN MAFIA

Oleh : Empi Muslion

Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE Lyon Perancis

 

Saban hari silih berganti informasi akan ketidakberdayaan bangsa yang kita cerna tersaji oleh beragam media ditanah air. Kasus-kasus mafia yang menyandera negara silih berganti bergentayang menari-nari ditelevisi, belum selesai kasus Antasari datang kasus bank century, belum selesai kasas Gayus Tambunan datang kasus Susno Duaji, belum selesai kasus Nazaruddin datang lagi kasus Muhaimin, belum selesai kasus TKI yang dihukum mati datang lagi kasus penganugerahan doctor honoris causa oleh sebuah perguruan tinggi negeri. Kecelakaan transportasi tak pernah henti, ribuan nyawa melayang seolah tanpa arti, niat untuk bersilaturahmi berganti menjadi melayati.

Disamping itu tiap detik sumber daya alam terus tergerus oleh para pemiliki modal, tiap menit anggaran negara dan daerah selalu bocor, perdagangan yang dibanjiri oleh produk impor, warung-warung rakyat tergusur oleh jaringan monopoli dengan kedok swalayan.

Saking banyak dan berlepotannya kasus-kasus yang membelah muka bangsa ini, sehingga kita tidak mampu lagi memyimpan dan mengingat kasus-kasus itu dalam memori otak, akhirnya kita menjadi bangsa pikun, pelupa dan autis. Namun kata-kata mafia seperti mafia hukum, mafia peradilan, mafia anggaran, mafia hutan, mafia perbankan, mafia perdagangan, mafia pertanahan, mafia jabatan dan berbagai istilah mafia lainnya tak pernah henti  menari nari didepan mata.

Ditengah keadaan seperti ini, ironisnya kita selaku anak bangsa juga menyemburkan wajah yang bermuka ganda,  sesama kita anak bangsa saling bertengkar, partai politik sebagai instrument untuk menata negara saling gontok-gontokan, antara sesama lembaga negara apakah presiden (eksekutif), parlemen (legislatif), Mahkamah Agung (Yudikatif), kejaksaan, kepolisian, MK, KY, KPK dan lainnya saling melempar kesalahan dan bantah-bantahan, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tuding-tudingan, birokrasi sebagai personifikasi negara masuk dalam perangkap politisasi dan malprofesionalisasi, rasionalitas tertutup oleh subjektifitas,  antara pelaku ekonomi usaha kecil dengan pemilik modal besar kucing-kucingan, rakyat jelata saling silih ganti berurai air mata darah menyaksikan perusahaan kapitalistik yang di legalkan menjarah tanah titipan nenek moyangnya.

Keadaan ini sudah semacam jaringan laba-laba yang semakin hari semakin melilit bangsa Indonesia, hingga nafasnya sesak, akhirnya tak bisa bernafas lagi untuk melepaskan lilitan-lilitan yang menggrogoti tubuh bangsa ini, hanya bisa berharap untuk tidak semakin pendek datangnya hari kematian bangsa yang akan meninggalkan jejak sejenis mumi untuk dikenang namanya sebagai sebuah bangsa besar yang pernah ada dalam peradaban manusia dimuka bumi.

Perangkap Mafia

Sebelum semua ini terlambat, kita harus mampu mengurai dan melepaskan jeratan-jeratan yang akan menyandera bangsa kita sendiri, tidak bisa ditampik, semua ini mustahil tanpa sebuah skenario dari nafsu keserakahan dan kerakusan-kerakusan kaum kapitalistik, hedonistik dan feodalistik. Kaum tersebut berasal dari luar maupun dari dalam anak bangsa sendiri.  Hakikat penjajahan belumlah sirna dibumi nusantara, hanya berubah label dan casing saja. Dahulu bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda menjajah tujuan utamanya tiada lain adalah untuk mencari sumber-sumber ekonomi bagi kemakmuran dan kemajuan bangsanya, begitu juga Jepang walaupun menjajah dalam kondisi perang dunia II tetapi tujuannya tetaplah sama yakni untuk kejayaan dan kemakmuran bangsanya agar tidak dikuasai oleh negara lain.

Sekarangpun kondisinya tidak jauh berbeda, kita dijajah tidak lagi oleh satu atau dua bangsa asing tetapi telah dijajah oleh berbagai negara dan berjuta individu, dengan aktor-aktor utamanya kaum kapitalistik berupa perusahaan-perusahaan raksasa yang merumput ditanah bangsa Indonesia yang bersimbiosis dengan kaum munafikun yang ada di negeri sendiri.

Dahulu negara penjajah menggunakan instrument fisik, siasat adu domba defide et impera, kelicikan, dan penggelabuan berbagai kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara, sekarang sama saja negara-negara asing melakukan tipu muslihat dengan menggunakan instrument yang lebih soft yang menyusup ke ranah hukum, ekonomi, politik, sosial budaya, tekhnologi dan ideologi, menggalabui ranah hukum kita, akhirnya perangkat hukum dan aturan lainnya yang kita buat sendiri menjadi senjata makan tuan, akibatnya kita masuk kelingkaran perangkap ketergantungan dengan pihak luar, disisi lain angan-angan anak bangsa dininabobokan dengan konsep demokrasi yang dianggap tuhan yang sarat seremonial prosedural namun miskin substansial ujung ujungnya kita disibukkan dengan aktifitas politik yang saling gigit menggigit sesama anak negeri dengan menggunakan biaya tinggi, biaya politik terrsebut tidak lain dimodali dari keuntungan kecil hasil rampokan sang penjajah abad baru dari kekayaan tanah moyang kita.

Kita tidak bisa lari dan membantah kenyataan ini, betapa gejala dan keadaan itu menganga didepan mata, kita lihat betapa kita tidak mampu melakukan diplomasi yang bermartabat untuk kepentingan bangsa dengan negara-negara lain bahkan negara sekecil Singapura dan Malaysia sekalipun, ketidakberdayaan bangsa kita bernegosiasi yang berdaulat dengan perusahaan-perusahaan tambang multinasional yang berserakan dibumi nusantara, betapa UU kita diracuni salah satu contahnya seperti UU tentang kesehatan yang pasal prinsipnya saja tentang tembakau bisa lenyap setelah diketok palu oleh yang kita amanahi untuk mendaulat negara, UU tentang penanaman modal, UU tentang Migas dan sebagainya. Betapa  pulau Kalimantan dan pulau lainnya yang ditumbuhi jutaan hektar hutan lenyap dalam beberapa saat dan sekarang tanahnyapun menjadi berantakan oleh gerusan tambang batubara yang diekplorasi dan dieksploitasi tiada terkira, pulau Bangka sudah binasa, pulau Papua sudah dikapling, ladang-ladang minyak dan gas di berbagai propinsi terus digerus keluar negeri, tambang-tambang emas, nikel, tembaga, bouksit entah siapa yang menikmati. Ikan, mutiara dan kekayaan laut kita dirampas semaunya, hasil perkebunan dan pertanian rakyat harganya selalu tak karuan, petani hanya selalu menjadi proletar yang mengabdikan tenaga dan waktunya untuk sang penjajahan abad baru. Beras, kedelai, sayuran, buah-buahan, garam, sapi, singkong dan hasil bumi lainnya yang seharusnya bangsa kita menjadi pengekspor utama malah kita harus mengimpornya dari negara yang jauh lebih kecil dari negara kita.

Haruskah kita hanya selalu bisa menjadi penonton, penggerutu, pecundang yang saling bertengkar, disatu sisi para komprador, mafia raksasa nyengar-nyegir di meja kasino melihat kita yang bak boneka dipermainkan ?

Melepas Perangkap Mafia

Untuk mengahadapi mafia raksasa ini, kita tidak bisa lagi mengedepankan egosime pribadi, kelompok, institusi, dan isme-isme lainnya, apakah agama, suku, partai, profesi dan sebagainya. kita harus bersatu melawan penjajahan mafia ini. Tentu pertanyaannya bagaimana cara keluarnya ? dari lilitan mana dimulai untuk mengurai lilitan dedemit mafia ini ? siapa yang harus terlebih dahulu memulai ? siapa yang akan mengomandoi supaya kegiatan ini sinergis dan efektif ?

Untuk menghindari kepemimpinan akumulatif berupa people power seperti fenomena bola salju politik timur tengah, maka tiada lain kepemimpinan harus dilakukan oleh presiden yang kuat dan efektif. Perlawanan kolektif bisa dilakukan secara efektif tentu harus dikomandoi oleh pemimpin yang kuat dan efektif, yang mampu membakar semangat anak bangsa untuk merebut kembali kedaulatan negara dan kekayaan bangsa yang dirampas ini, pemimpin yang mampu mengakomodasi berbagai sumberdaya negara menjadi akumulasi energi luhur anak bangsa dan berpihak kepada seluruh rakyat, yang tidak terkotak kepada kepentingan warna baju politik dan warna kepentingan lainnya, kepentinganya hanya satu untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari kekejaman mafia-mafia raksasa yang bak dedemit dan iblis dimana sepak terjangnya sangat terasa tetapi tidak terlihat secara wujud fisiknya.

Instrumen untuk keluar dari semua itu tiada lain adalah penegakkan hukum dan keberpihakan kepada ekonomi kerakyatan. Hukum tegakkan dengan sebaiknya, Presiden jangan gentar untuk mengintervensi penegakkan hukum demi tegaknya keadilan, yang tidak boleh hanya mengintervensi proses peradilan, jangan gentar untuk mengamputasi jaringan kanker mafia ganas yang menggrogoti perekonomian anak bangsa, yang tidak boleh hanya memanipulasi data ekonomi untuk kekayaan pribadi dan kelompok. Yakinlah seluruh anak bangsa yang menginginkan Indonesia berdaulat, maju, berkeadilan yang  mengharap kedatangan kesejahteraan dan kemakmuran sebagai cita-cita luhur pendirian negara ini akan selalu berada dibelakang Presiden.

Memang ini adalah pekerjaan yang sangat besar tidak bisa disandarkan hanya pada bahu presiden dan jajarannya semata,  pekerjaan yang harus memiliki akumulasi energi persatuan, semangat juang dan nasionalisme yang membara dari seluruh elemen anak bangsa, kita jangan terjebak oleh permainan dibelakang layar dan berbagai jebakan siasat defide et impera era globalisasi para mafia, mari kita sadar bersama dan tobat secara berjamaah, bagi anak bangsa yang terlanjur menjadi mafia, yang selama ini saling memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh dedemit mafia, bertobat dan berbalik arahlah, gunakanlah sebagian sumber daya yang maha besar itu untuk penyelamatan bangsa dan rakyat Indonesia, bagi kalangan yang dianugerahi kesempatan untuk memimpin baik institusi formal maupun informal dinegara tercinta ini, mari kita hentikan pertikaian, hujatan, sindir-menyindir, saling mencela, bermuka majemuk, subjektifitas dan sebagainya.

Kita semua sudah masuk kedalam perangkap lilitan raksasa mafia yang sama, masing-masing individu dan kelompok ingin bebas dan melepaskannya secara sendiri-sendiri lilitan itu, yakinlah kita tidak akan bisa melepaskannya secara sendiri-sendiri, karena banyak individu dan kelompok-kelompok lainnya yang juga ingin melepaskan diri dari jebakan lilitan itu, semakin kita bekerja dengan ego sendiri dan kelompok maka akan semakin kuat dan semakin bertambah jebakan itu melilit kita, karena lilitan itu saling kait mengkait ibarat pertumbuhan sel kanker. Marilah kita keluar dan melepaskan jebakan lilitan yang sudah sampai dikerongkongan bangsa ini secara bersama sama.

Read Full Post »