“Anak Mudiak” itu Bernama Indra Sjafri
Oleh : Empi Muslion
Bukan karena sekampung, tetapi acungan jempol dan penghargaan tulus akan arti sebuah idealisme, karakter tanpa pamrih, perjuangan tanpa lelah, semangat pantang menyerah, gelora dendam berbuat yang terbaik, pemahaman paduan teori dan skil, serta nilai patriotisme, pantas kita berikan buat anak negeri yang saat ini menjadi obat disaat mata kita dijejali oleh kecelakaan yang merenggut nyawa seolah tanpa harga. Disaat yang dianggap dan dinobatkan sebagai ‘tokoh-tokoh’ negara menampakkan halus pekertinya memperkosa bangsa juwita ini, sebut saja yang terkini “Muhammad Luhtfi Hasan Ishaq, Rudi Rubiandini, Akil Mochtar dan yang terbaru Andi Malarangeng. Obat itu adalah seorang anak bangsa yang dulu terlunta lunta saat ini muncul bak oase penghilang dahaga dengan nama Indra Sjafri.
Secara nama, saya mengenal Indra Sjafri sudah sejak kelas 6 SD sekitar tahun 1986, saya mengenalnya karena orang kampung saya saat itu sangat bangga sekali dengan salah seorang putra kampungnya bisa masuk kedalam skuad tim Persatuan Sepakbola Padang (PSP) yang di era 80-an sampai 90-ang merupakan tim yang cukup disegani di Sumatera Barat termasuk di Indonesia, tentunya disamping Tim Sepakbola Semen Padang.
Saat itu orang kampung saya, terutama yang nongkrong di warung-warung kalau membicarakan Indra Sjafri, biasanya hanya dengan sebutan “si In.” Jarak kampung saya dengan kampungnya Indra Sjafri sekitar sepuluh kilometer. Kampung Indra Sjafri, namanya Desa Lubuk Nyiur (masuk kedalam Kenagarian IV Koto Mudiak) Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar.
Zaman saya kecil dulu, mungkin disaat Indra Sjafri sudah memiliki talenta memainkan bola sepak. Desa Lubuk Nyiur dan beberapa desa yang ada dibagian pedalaman Kecamatan Batang Kapas, orang kampung saya menyebutnya dengan istilah “orang atau Desa Mudiak.” Sebagai pembeda bagi desa dan masyarakat yang bermukim dibagian pantai dan jalan propinsi. Jika menyebut desa Lubuk Nyiur ini, jangankan untuk ukuran Sumatera Barat, untuk Desa yang ada di Kecamatan Batang Kapas saja, saat itu Desa Lubuk Nyiur dikonotasikan sebagai desa terpencil dan terbelakang dan masyarakatnya dipersepsikan masih udik. Walaupun saat itu masyarakat yang berada di pedesaan Kenagarian IV Koto Mudiak ini sudah banyak yang sukses diluar kampungnya, sebut saja salah satunya mantan Ketua DPRD Sumbar Buya H.Arwan Kasri. Disamping itu masyarakatnya juga banyak yang berprofesi sebagai anggota TNI dan Polri.
Secara geografis desa ini berada di celah-celah lebatnya hutan bukit barisan, saat saya kecil dulu, jalan menuju desa ini dari ibukota kecamatan hanya satu jalur, sampai sekarang juga masih satu jalur, jika terjadi sesuatu bencana alam yang tidak diharapkan, tentunya akan menyulitkan dalam penyelamatan dan evakuasi. Dulu jalannya sangatlah sempit, bertanah dan batu batu. Desa ini dialiri sungai yang cukup besar, lebar dan deras. Dahulunya desa ini jembatannya hanya ada jembatan gantung seperti panorama atraksi film “Indiana Jones”. Belum ada listrik, SMP pun yang ada saat itu adalah SMP kelas jauh dari SMP Negeri Batang Kapas yang juga merupakan satu satunya SMP yang ada di Kecamatan saya.
Orang akan menggerinyit dahi jika ada yang diajak untuk ikut pergi menghadiri suatu acara kedesa ini, termasuk saya sendiri saat itu diajak oleh orang tua untuk pergi berobat kedesa ini, saat itu belum ada mobil umum, motorpun dapat dihitung setengah jari. Saya dibawa oleh orang tua dengan sepeda ontel, duduk dibelakang, sepanjang perjalanan dari ibukota kecamatan sampai kedesa ini, pemandangan yang saya temui hutan lebat kiri kanan, suasana senyap ditambah sahutan bunyi kera, jangkrik, burung muray dan suara suara hewan lainnya yang membikin bulu roma saya berdiri bak ijuk yang banyak tumbuh dipinggir jalan. Jalan tanah penuh lobang, ada yang berkerikil tetapi banyak yang terjal, sungainya besar, lebar dan dalam tetapi airnya sangatlah jernih sekali dengan batu-batu besar yang sangat alami.
Memang ada katakutan yang menyelimuti saya jika pergi ke Desa ini, apalagi banyak cerita-cerita orang tua yang beredar saat itu, kalau ke Mudiak harus hati-hati, karena jalannya sepi banyak urang rantai (orang yang dirantai zaman penjajahan Belanda yang dijadikan romusha dan kuli tambang batu bara), disungainya banyak berkeliaran orang bunian (sejenis bangsa makhlus halus), dihutannya ada cindaku (Makhluk halus yang suka menyembunyikan orang), ada inyiak (harimau), dan sebagainya. Alhasil sepanjang perjalanan saya hanya bisa memegang erat-erat perut Ayah saya dan sekali kali memicingkan mata dan berdoa agar cepat sampai ketujuan.
Begitupun kalau ada pegawai negeri seperti guru, petugas puskesmas, PPL, dan sebagainya yang akan ditempatkan berdinas di Desa Mudiak, pasti mereka akan berdoa semalaman agar tidak lama-lama ditugaskan di desa ini
Tetapi itu hanya gambaran geografis desa Lubuk Nyiur saat dulu, sekarang sudah sangat jauh berubah, jembatan Indiana Jones sudah berganti Jembatan Beton. Negeri senyap sudah terang oleh cahaya listrik walaupun masih sering kelap kelip, SMP dan SMA sudah berdiri, begitupun dibidang lainnya.
Tetapi secara demografis, sosiologis dan kulturnya orang Mudiak ini juga sungguh luar biasa, orangnya sangat ramah apalagi kepada tamu. Sikap komunalitas sangat mereka junjung tinggi, begitu juga dengan pola hidup gotong royong mereka sangat bahu membahu. Kalau menyangkut kekompakkan dan kesolidan Desa Mudiak ini tidak bisa ditandingi, disamping itu desa ini juga memiliki militansi yang tinggi terhadap negerinya, karena itu kalau ada pertandingan olahraga antar desa di tingkat kecamatan, seperti Bola Volley dan Sepak Bola, maka kalau bertemu Desa Mudiak dengan desa yang dibagian Hilir (desa yang berada di pusat kecamatan, jalur jalan propinsi dan kawasan pantai) apalagi bertemunya di partai final, maka antar pendukung sering terjadi perang urat syaraf bahkan juga ada yang sampai adu otot.
Beginilah kira-kira ilustrasi desa Uda Sjafri saat saya kecil dulu, yang mana nama si In sudah sahut menyahut kayak operan bola dari mulut kemulut di kedai-kedai yang ada di Desa saya. Bisa kita bayangkan jika saat itu Indra Sjafri sudah bisa masuk kedalam skuad PSP, mungkin seperti era sekarang kita melihat ibarat Evan Dimas sekiranya bermain di Club Barcelona atau Manchester United. Begitulah kira-kira apresiasi masyarakat kampung saya saat itu terhadap Indra Sjafri.
Dari etalase kampung Indra Sjafri ini dan kesuksesan Indra Sjafri membangkitkan harga diri anak negeri, saya mencoba memberikan beberapa catatan sekaligus mengilustrasikan bagi pembangunan dan perjalanan bangsa kita kedepan dalam mengisi setiap derak pekik kemerdekaan yang direbut dengan genangan darah dan air mata, yang saat ini sudah terkontaminasi dan berasimilasi dengan dentuman meriam globalisasi, pekikan liberalisasi, pemikiran yang terbalut pragmatisasi apalagi bersampul hedonisasi dan meterialistik.
Pertama; Indra Sjafri membuktikan ternyata kita memang bangsa yang besar. Selama ini banyak diantara kita yang menggarut-garut kepala seolah tidak bisa mempercayai melihat pemain bola Indonesia tentunya juga dengan segenap pengurus, pelatih dan jajaran terkaitnya, yang tak kunjung bangkit prestasinya. Padahal negara Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia, masa tidak mampu mencari 11 sampai 20 pemain yang berkualitas dan bertalenta prima ? pertanyaan-pertanyaan ini sering sekali mengemuka disudut sudut negeri ini. Apalagi jika dibandingkan dengan Negara Kroasia atau Bosnia Herzigovina saat ini yang hanya sebesar satu kota di Indonesia mampu tampil diputaran final piala dunia.
Dengan gerakan sunyi, senyap dan diam-diam selaras dengan suasana kampungnya, Indra Sjafri mampu memberikan jawaban dan membelalakkan mata kita semua dan mempertontonkan kepada kita bersama anak negeri Indonesia. Bahwa Indonesia memang adalah bangsa yang besar, bangsa yang kuat, lincah, cekatan, kompak, cerdas dan bertalenta juara. Hal ini ditunjukkan oleh anak asuh Indra Sjafri yang berlari bak Kuda Sembrani lepas talinya mengejar bola, mengoper dan memainkan bola bak Rama mengejar Shinta dengan apik dan menawannya. Jika selama ini banyak yang mengkerdilkan anak bangsa dengan mengkambinghitamkan stamina dan ukuran postur tubuh yang tidak terlalu tinggi sebagai kelemahan, ternyata hal itu tak terlihat sama sekali dengan anak-anak garuda muda Indonesia.
Kedua; Indra memperlihatkan kekuatan cinta tak mengenal stigma. Indra bergerilya dari satu daerah ke daerah lain mengamati dan menyeleksi para anak-anak negeri Indonesia yang memiliki talenta untuk dibina menjadi pemain bola yang berkarakter, diajar untuk mempertajam skill, teknik dan strategi. Memotivasi untuk memuntahkan daya juang, keuletan, kekompakkan dan semangat pantang menyerah. Menyuntikkan virus patriotik, mikroba nasionalisme dan gugahan cinta tanah air yang tiada tara.
Dari beberapa wawancara Indra oleh beberapa media, dapat ditangkap betapa Indra tidak bisa ditawar-tawar untuk memperjuangkan visi dan gagasan besarnya dalam melatih anak bangsa. Betapa geramnya Indra saat dia diminta melatih U-16 tetapi disodorkan pemain-pemain yang rekrutmennya pantas dipertanyakan. Katanya dari beberapa pemain U-16 hanya 1 atau 2 orang yang bisa dipakainya. Ini menunjukkan betapa tidak seriusnya pengelolaan dan rekrutmen pencarian bibit-bibit berbakat anak negeri selama ini. Termasuk perjalanan karier sepakbola Indra sendiri tentunya, dari beberapa wawancaranya dapat ditangkap bahwa ia termasuk salah seorang pemain bertalenta yang termarginalkan, dia tertatih tatih untuk dapat diapresiasi oleh club besar tetapi tetap gayung tak bersambut.
Indra juga menunjukkan kepada kita bersama, bahwa Indonesia itu luas sekali, Indonesia bukan hanya Jawa, banyak talenta-talenta potensial yang bergeletakan dibumi pertiwi ini walau itu jauh dipelosok pelosok kampung. Karena itu jemputlah mereka, bimbinglah merka, perlakukanlah mereka secara sama dan setara, jangan biarkan mereka melangsa tak bisa ke Jakarta karena tak bisa membayar tiket kereta dan pesawat terbang, atau tak punya paman dan saudara tempat bekingan.
Karena itulah kekuatan cinta Indra terhadap filsafat bola yang harus bundar tidak bersegi bergemuruh, akhirnya dia berkelana dari satu daerah kedaerah lain, mencari, mengamati dan menyeleksi akhirnya membawa beberapa tunas muda Indonesia dibentuk dan dibina, yang hasilnya walau belum berapa lama dibentuk sudah menegakkan kepala kita didepan khalayak dunia.
Ketiga; Idealisme harga mati. Dari beberapa catatan wawancara Indra Sjafri oleh beberapa media, Indra sering menuturkan bahwa dia tidak mau diintervensi oleh PSSI atau siapapun, apalagi ada pemain-pemain titipan, dia sangat benci hal ini. Mungkin ini juga ada pengaruh dari perjalanan karier Indra yang termasuk pemain yang sering terpinggirkan, dan melihat betapa realitas terperosoknya prestasi sepak bola negara ini akibat banyaknya titipan-titipan yang mengalahkan rasionalitas dan membuyarkan prestasi yang harus diraih secara fair dan objektif. Dan mematikan karier-karier cemerlang anak bangsa yang berkualitas. Harusnya semangat ini dapat ditangkap oleh pemangku kepentingan di PSSI maupun jajaran lainnya, sebagai sebuah alaram positif bahwa ternyata irasionalitas, subjektifitas dan kepentingan emosianal sebuah kelompok hanya akan menjatuhkan prestasi Negara ini kelembah gelap dan kenistaan.
Keempat; Virus Patriot nan tak boleh padam. Hal ini dapat kita tangkap, betapa setiap tim garuda muda U-19 selesai pertandingan, Indra Sjafri selalu terlontar kata-kata bahwa kita adalah bangsa yang besar, selain itu kata-kata penyemangat yang sering dilontarkan Indra buat anak-anak asuhnya, “jangan biarkan negerimu diinjak-injak oleh bangsa asing.” Ini adalah kata-kata yang sangat dalam, tajam dan runcing. Jika kita renungi kata-kata ini, ia seruncing bambu runcing yang digunakan para pahlawan negeri melawan amphibi para penjajah merebut dan mempertahankan tanah nusantara ini.
Sekali lagi jangan biarkan negaramu diinjak-injak oleh Negara asing. Semangat ini seharusnya harus kita gelorakan dan tusukkan tidak hanya dibidang olahraga dan sepakbola semata, tetapi kata-kata ini harus masuk kesegenap urat nadi anak bangsa yang masih merasa sebagai anak negeri Ibu Pertiwi. Apalagi bagi yang suka mengkapling negeri, menguras alam, mencuci rupiah, dan yang mempermainkan keadilan.
Kelima; Runtuhnya pesona tampan korea. Sebelum fenomena U-19 beratraksi dilayar televis, selama ini wajah-wajah artis/aktor korea silih berganti menyambangi televisi dan panggung hiburan Indonesia. Begitupun Korean Style menjangkiti generasi muda termasuk kaum ibuk ibuk. Gagnam Style, KPOP, Boy and Girl Band Korea kerap menyambangi atsmosfir budaya generasi muda anak negeri.
Kiranya virus yang akan melunturkan kekayaan khazanah anak nusantara yang sejatinya lebih dahsyat dari polesan Korean style, mampu tersapu oleh tangan dingin Indra Sjafri. Dari hati terdalam saya katakan, kiranya ketampanan Maldini, Ravi Murdiyanto, Evan Dimaz, Ilham Udin Armaiyn, Mukhlis Hadi Ning Syaifulloh, Putu Gede Juni Antara, Hansamu Yama Pranata, Muhammad Sahrul Kurniawan, Muhammad Hargianto, Zulfiandi, Dinan Yahdian Javier, Paolo Oktavianus Sitanggang, Ruli Desrian, Alqomar Tahupelasury, Febly Gushendra, Dimnas Sumantri, Mahdi Fahri Albar, Hendra Sandi Gunawan, Muhammad Dimaz Drajat. Kiranya ketampanan, kegantengan, kemacoan, kecerdasan dan kegesitannya lelaki Indonesia yang diperagakan oleh tim U-19 jauh diatas para rupawan Korean yang sebagian besar wajahnya banyak dioperasi plastik tersebut. Ini juga menunjukkan betapa selama ini kita ikut member andil menjatuhkan kekuatan dan kewibawaan bangsa kita dimata bangsa asing. Cobalah lihat dengan jujur betapa rupawannya para anak-anak garuda muda Indonesia berkeliat dan beradu tangkas dengan jagoan korea yang tak berdaya seolah negeri itu kehabisan tanaman ginsengnya.
Keenam; Keseriusan dan Fokus kunci kesuksesan. Kiranya Tim U-19 yang dibina Indra Sjafri, betul-betul mempraktekkan teori-teori modern persepakbolaan dan dikombinasikan dengan nilai kearifan bangsa. Hal ini terlihat bahwasanya kualitas pemain tidak hanya diukur dari skil dan fisik semata, disamping memenuhi standar VO2, pemain juga harus memiliki kekuatan mental, karakter, militansi, dan kekompakkan. Disamping itu Indra Sjafri juga tidak ada tawar menawar tentang kedisiplinan. Anak anak dibiasakannya dalam pemusatan pelatihan harus disiplin, baik latihan, pola makan, maupun waktu istirahatnya. Hal lain lagi atmosfir ketenangan, kenyamanan dan saling menghargai juga disemaikan dalam tim ini, sehingga tidak ada anak emas dan anak perak. Begitupun pola pergaulan mereka, Indra menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi, saat latihan Indra sebagai Pelatih, diluar latihan Indra bisa sebagai teman, sebagai Ayah, bahkan sebagai pembantu bagi anak-anaknya.
Ketujuh; Semua itu dikunci dengan Wujud Syukur, kesuksesan semata mata atas Hidayah dan pertolonganNYA. Mungkin kita semua sudah menyaksikan, setiap ada perayaan gol ataupun selesai pertandingan, tim garuda muda U-19 selalu melampiaskan emosinya dengan atraksi sujud ketanah sebagai manifestasi rasa syukur kearibaan Allah SWT…
Semoga ditengah tandusnya demoralisasi negeri ini, ada secercah oase dan semangat bambu runcing seperti yang telah digelorakan oleh Indra Sjafri untuk menyatakan kehadapan dunia, bahwa Indonesia bangsa yang besar…. Kami akan bisa melalui ujian ujian dan terpaan angin tornado yang silih berganti menerpa negeri ini… Indra Sjafri Indra Sjafri lainnya akan selalu lahir dibumi ini… walau itu dari negeri yang jauh dipelosok hutan sama sekali…
Bagi Anak anak Garuda Muda Indonesia dan Uda Indra Sjafri, sebagai manusia biasa tentu tidak ada yang sempurna, walau tulisan diatas umumnya yang baik baik saja, tentu jika ada kritik dan masukan yang membangun dari anak Indonesia lainnya haruslah diterima. Mungkin tidak bagi Uda Indra tetapi bagi garuda muda yang masih dalam pencarian jati diri, yang masih bergelora adrenalinnya, jangan jumawa melebihi rendah hati. Jangan sampai tergoda rayuan mafia persepakbolaan yang akan semakin keras menghampiri, apalagi rayuan elemen elemen kapitalisasi yang memanfaatkan prestasi dan talenta anak negeri sebagai mesin uang. jangan jangan tergoda dengan itu semua, berprestasilah lebih tinggi, semua yang merayu itu akan dapat diraih bahkan melebihi nantinya.. Indonesia masih berharap banyak dengan talenta-talenta apik dan tulusmu…
Bravoooo Garuda Muda…
Read Full Post »