Salam PNS seantero Bumi Pertiwi…
Saat ini kita sudah memasuki sidang kedua Uji Materi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Ini adalah Undang-Undang yang mengatur harkat, martabat dan keberadaan kita sebagai personifikasi negara. Profesi PNS sama dengan profesi anak negara lainnya yang muaranya untuk membangun dan mengabdi bagi nusa dan bangsa, namun dalam Undang-Undang ini banyak hal yang tak sejalan dengan semangat keadilan, kesetaran, kemartabatan dan keberadaan kita sesama anak negeri yang berprofesi dibidang apapun adanya dinegara tercinta ini.
Pada kesempatan ini kita hanya baru mengajukan Uji Materi terhadap pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2014 ini, sebenarnya banyak pasal yang harus kita kritisi dan perbaiki bersama, tapi step by step kita uji dulu pasal yang memang jelas jelas memasung, mengkerdilkan, mengebiri dan mangaputasi hak azazi kita sebagai warga negara yang berprofesi sebagai PNS.
Bersama ini saya sampaikan beberapa pokok pokok pikiran kita terhadap perbaikan permohonan uji materi, yang sudah kita hadiri bersama oleh perwakilan pemohon dan sudah saya bacakan didepan majelis hakim Mahkamah Konstitusi hari Kamis tanggal 10 Juli 2014 kemarin. Alhamdulillah para hakim yang menyidangkan mengapresiasi perbaikan yang kita lakukan, dari tiga hakim yang menyidangkan, dua hakim yang hadir pada sidang pertama tidak ada komentar dan menyambut baik, hanya hakim MK Patrialis Akbar yang memberikan beberapa komentar dan catatan untuk sidang kita selanjutnya. Pada sidang ini sudah diketok palu bahwa berkas permohonan kita sudah dinyatakan lengkap. Dan selanjutnya kita diminta menunggu sidang selanjutnya dan mempersiapkan saksi ahli. Semoga jalan kita dimudahkan selalu demi keadilan dan kebaikan bagi PNS dan bangsa tercinta ini.
Untuk naskah utuhnya terlalu besar kapasitasnya jika saya upload kan disini (tapi pokok pokok pikiran yang pertama juga sudah saya lampirkan dicatatan saya terdahulu dapat dibaca disini ).
Ini adalah tanggungjawab, pekerjaan, tugas dan semangat kita bersama yang bernaung dibawah payung panji Pegawai Negeri Sipil Indonesia atau Apatur Sipil Negara.
SALAM PNS
Empi Muslion, MSc
POKOK POKOK PIKIRAN PERBAIKAN PERMOHONAN UJI MATERI
UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Yang Kami Hormati Saudara/i pemohon Uji Materi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
Hadirin hadirat yang berbahagia
Majelis Hakim Yang Mulia
Sesuai dengan surat panggilan sidang dari panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 557.41/PAN.MK/7/2014 tanggal 3 Juli 2014 perihal panggilan sidang dengan acara pemeriksaan perbaikan permohonan.
Maka izinkan kami para pemohon menyampaikan beberapa pokok pemikiran mengenai perbaikan permohonan Uji Materi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang sudah kami siapkan dan sampaikan sebelumnya ke hadapan Yang Mulia Dewan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang telah memberikan saran dan kesempatan kepada kami untuk melakukan perbaikan terhadap beberapa hal substansi dalam permohonan uji materi kami pada saat sidang pertama tanggal 5 Mei 2014.
Bahwa perbaikan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan permohonan kami para pemohon sebelumnya tanggal 3 April 2014.
Dari beberapa saran dan masukan yang disampaikan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada sidang pertama untuk perbaikan permohonan ini, maka kami menghimpunnya atas empat hal pokok yang kami lakukan penambahan dan penajamannya, yakni : Pertama tentang kedudukan hukum (Legal Standing) kami sebagai pemohon dan konsepsi PNS/ASN. Kedua mengenai substansi materi permohonan berkaitan norma pada pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) yang menjadi norma objek pengujian yang kami sebutkan bersifat diskriminatif dan norma tentang konsepsi netralitas aparatur negara. Ketiga tujuan pembuatan Undang-Undang dan keempat kajian kami terhadap aspek formil dalam pembuatan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan kajian dalam dokumen Risalah maupun Naskah Akademisnya.
Pertama, tentang kedudukan hukum (legal standing) kami sebagai pemohon :
– Bahwa kami para pemohon adalah warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (Aparatur Sipil Negara) dan juga sebagai pembayar pajak (tax payer).
– Bahwa kami para Pemohon adalah PNS/ASN yang saat ini memiliki golongan kepangkatan dan posisi jabatan yang beragam di beberapa instansi pemerintahan, baik struktural maupun fungsional. Dan kami memiliki peluang dan potensi untuk menduduki sebagai pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama sebagaimana yang diamanatkan dalam UU nomor 5 tahun 2014 ini.
Konsepsi Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara :
– BahwaPNS adalah profesi, karena UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN memang mengkonsepsi dan mendefinisikan bahwa PNS adalah profesi.
Sebagaimana pengertian ASN yang termaktub dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, menyatakan bahwa : “Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.”
– PNS juga adalah pekerjaan, sebagaimana kita ketahui hampir seluruh dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara yang diikat oleh Undang-Undang seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Paspor, Dokumen untuk menjadi nasabah Bank atau dokumen pengajuan kredit ke Bank, semuanya mencantumkan bahwa PNS adalah jenis pekerjaan.
– Menurut kami Para Pemohon, ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara telah menyebabkan kami Para Pemohon dan aparatur sipil negara umumnya kehilangan hak asasi kami sebagai warga negara, hanya karena mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan Negara yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum langsung sebagaimana diuraikan di bawah ini:
Pasal 119 UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, berbunyi:
“Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”
Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014, berbunyi:
“Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”
Kedua, penajaman substansi materi permohonan berkaitan norma pada pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) yang menjadi norma objek pengujian yang kami sebutkan bersifat diskriminatif dan norma tentang konsepsi netralitas aparatur negara.
Tentang diskriminasi terhadap PNS/ASN
Bahwa yang dimaksudkan dengan perlakuan yang diskriminatif dalam Permohonan ini adalah diskriminasi antar status warga Negara dalam profesi PNS jika mencalonkan atau dicalonkan menjadi pejabat Negara diwajibkan mundur saat pendaftaran.
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya (Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Berikut beberapa bentuk diskriminasi kepada PNS akibat pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 2014 ini :
Diskriminasi PNS dalam hal Pekerjaan
Berkaitan dengan mundurnya PNS dari jabatan negeri untuk mendapatkan jabatan negara, PNS sudah ada aturan yang mengaturnya yakni pasal Pasal 59 ayat (5) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan, “Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Tetapi dalam pasal 123 ayat (3) UU No.5 Tahun 2014 terjadi ketidakadilan dan pembatasan hak warga negara yang mana PNS jika memasuki jabatan negara, PNS diwajibkan mundur sejak mendaftar sebagai calon, padahal PNS merupakan profesi atau pekerjaan bagi warga negara yang merupakan hak azazi warga negara dalam bidang mendapatkan pekerjaan.
Hal ini bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 38 ; mengatakan bahwa :
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(1) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjarmin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Diskriminasi prosedur menjadi pejabat negara oleh PNS sendiri,
Jika PNS yang menjadi pejabat negara sebagaimana pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) mereka wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon, mengapa PNS yang menjadi Pejabat negara menurut pasal Pasal 123 ayat (1) UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN, yang menyebutkan :
“Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS”.Mengapa mereka tidak diwajibkan juga untuk mundur ?
Jika alasannya karena prosedur menjadi pejabat negara pada pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) tersebut dikarenakan oleh faktor sistem pemilihan, yakni pemilihannnya oleh rakyat secara langsung lewat pemilu, sedangkan jabatan negara pada pasal 123 ayat (1) tidak melalui pemilihan langsung atau berupa proses pengangkatan. Bukankah menjadi pejabat negara pasal 123 ayat (1) tersebut prosedurnya juga adalah melalui sistem pemilihan ? seperti pemilihan hakim MK, KY, BPK, yakni dipilih oleh DPR, yang mana DPR adalah representasi partai politik. Kedua metode pemilihan ini sama sama diakui dalam sistem demokrasi. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya perlakuan yang tidak sama bagi PNS sendiri.
Diskriminasi rekrutmen menjadi pejabat negara
Jika rekrutmen untuk menjadi pejabat negara yang sebagaimana pasal 123 ayat (3) dikatakan ini domainnya partai politik karena alasan proses rekrutmennya lewat pemilihan oleh rakyat, karena itu jabatan negara ini dilarang bagi PNS, dan konsekuensinya PNS wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Sedangkan jabatan negara sebagaimana pasal 123 ayat (1) dianggap domainnya kalangan professional dan jabatan karier. Pertanyaannya mengapa rekrutmen menjadi Pejabat negara menurut pasal 123 ayat (1) juga ada berasal dari kalangan partai politik ? seperti untuk hakim konstitusi, hakim KY, BPK, yang mana ada unsur dari DPR-nya yang tidak lain adalah anggota dan atau pengurus partai politik. Mengapa kalangan partai politik bisa memasuki areal yang katakanlah ranahnya pejabat karier atau kalangan professional ? dan mengapa pula mereka bisa masuk ke jabatan negara yang rekrutmennya tidak melalui pemilihan langsung oleh rakyat lewat pemilu ? sehingga terjadi perlakuan yang tidak adil bagi PNS.
Jika alasan pejabat negara pasal 123 ayat (3) adalah faktor rekrutmennya lewat partai politik, argumentasi ini juga tidak bisa diterima karena di alam demokrasi saat ini, bahwa saluran untuk memperebutkan jabatan negara untuk Kepala Daerah tidak hanya lewat partai politik, tetapi ada saluran jalur perseorangan, yang tidak ada kaitannya dengan partai politik. Sebagaimana UU No.12 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59 ayat (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah; a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik; b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Begitupun untuk menjadi pejabat negara dibidang legislatif sebagai Dewan Perwakilan Daerah yang juga tidak melalui partai politik tetapi menekankan kapasitas dan kualitas individual secara perorangan. Tentu semakin mendiskriminasi dan melanggar hak azazi PNS sebagai warga negara yakni hak dalam memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Diskriminasi dan perlakuan yang tidak sama terhadap profesi PNS
Jaminan konstitusional yang menjadi syarat untuk demokrasi yaitu adanya eligibilitas dan adanya hak untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara (Robert Dahl). Dalam negara nomokrasi, hukum hanya dapat ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan, sehingga keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan (Aristoteles). Perbedaan penting antara kesamaan numerik dan proporsional, kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit, inilah yang dipahami mengenai kesamaan semua warga adalah sama di hadapan hukum, sedangkan kesamaan proporsional memberi tiap orang yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi, dan sebagainya. Cara pandang seperti itulah yang disebut cara pandang prinsip keadilan dimaknai sebagai kebenaran (fairness).
Ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No.5 Tahun 2014 selain bertentangan dengan asas kepastian hukum, juga bertentangan dengan asas persamaan perlakuan (asas uniformitas). Asas persaman perlakuan dengan asas kepastian hukum pada dasarnya merupakan asas-asas yang paling fundamental dan paling berakar dalam kesadaran hukum yang bersifat umum (Indroharto, 1994 : 163). Asas ini menghendaki bahwa agar kasus-kasus yang sama diperlakukan sama pula, sedangkan kasus yang tidak sama diperlakukan tidak sama sesuai dengan tingkat ketidaksamaannya.
Dalam kasus PNS mereka wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon sangat jelas bertentangan dengan asas persamaan perlakuan, karena sekian pekerjaan atau profesi yang ada, hanya profesi PNS saja yang diwajibkan mundur, sedangkan profesi atau pekerjaan lainnya, tidak perlu mundur.
Berkaitan dengan kesamaan untuk merebutkan jabatan negara di republik ini, jika yang diatur jabatan tentu pembandingnya yang setara adalah jabatan pula. Bagi PNS adalah jabatan negerinya dalam birokrasi, bagi anggota partai politik tentu jabatan organiknya dipartai politiknya.
Dalam hal menjunjung tinggi kesamaan dan keadilan, jika PNS diminta mundur dari jabatan negerinya, maka wajib pula bagi anggota atau pengurus partai politik untuk mundur dari jabatan organiknya dalam partai politiknya.
Tetapi mengapa UU ASN yang mengatur untuk memperoleh jabatan negara, yang mana jabatan negara adalah jabatan publik yang terbuka untuk umum dan untuk memperolehnya berdasarkan asas fair, equality, dan freedom, mengapa PNS diwajibkan mundur dari profesi atau pekerjaan PNSnya ? padahal untuk jabatan negerinya oleh undang undang yang ada mereka sudah diwajibkan mundur dari jabatan negerinya sejak pencalonan. Mengapa oleh UU ASN justru diperberat lagi dengan memasung hak azazi PNS dengan mewajibkan PNS mundur dari profesinya ?
Namun ketentuan ini tidak berlaku sedikitpun bagi anggota partai politik. Untuk keadilan dan persamaan hukum, jika PNS diwajibkan mundur dari jabatan dan profesinya, anggota partai politik tentu juga harus mundur dari jabatan organiknya di partai politik dan mundur juga dari keanggotaan partai politiknya yang tidak bisa dimasukinya kembali sejak mendaftar sebagai calon pejabat negara sebagaimana yang disebutkan pada pasal 123 ayat (3) dimaksud.
Dalam tataran kesetaraann saja sudah terjadi diskriminasi, ini malah bukan diskriminasi lagi tetapi sudah pengamputasian hak warga negara, sangat ironis, bukan hanya jabatan negeri PNS yang harus mundur, tetapi justru hak pekerjaan warga negara sebagai PNS yang dilindungi oleh UUD 1945 yang harus dipaksa untuk diberhentikan. Ini adalah bentuk penzaliman yang luar biasa yang disematkan untuk PNS.
Tentang Netralitas PNS/Aparatur Sipil Negara
Sejak masa reformasi PNS sudah lama netral, mereka telah diikat dengan berbagai macam aturan dan norma tentang netralitas, seperti UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian seperti tertera pada pasal 3 ayat (3) yang berbunyi: “Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.”
Bahwa Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah mengatur sebagai berikut : Bagi PNS yang menjadi calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah :
– wajib membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri pada jabatan struktural atau fungsional yang disampaikan kepada atasan langsung untuk dapat diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
– dilarang menggunakan anggaran pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
– dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya;
– dilarang melibatkan PNS lainnya untuk memberikan dukungan dalam kampanye.
Begitu juga aturan yang mengatur mundurnya PNS dari jabatan negeri untuk mendapatkan jabatan negara, dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan, “Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Bahwa masalah netralitas, dikhawatirkannya PNS yang mencalonkan diri, khususnya dalam permohonan ini sebagai kepala daerah akan berdampak pada netralitas PNS, maka seharusnya dicarikan solusi yang terbaik bagi semua pihak, yakni baik bagi PNS yang mencalonkan diri tersebut, dan baik bagi masyarakat. Namun, pasal dan/atau ayat yang dimohonkan tidak mencerminkan solusi itu, melainkan melahirkan masalah baru dengan melabrak hak-hak konstitusional PNS untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, terlebih lagi sebagai calon anggota DPD yang memang hanya dari calon perseorangan, dengan cara mewajibkan calon dari PNS untuk mengundurkan diri dari PNS pada saat pendaftaran calon. Padahal, masalah netralitas ini telah terbantahkan karena calon kepala daerah dari jalur perseorangan jelas-jelas independen dan tidak bersifat partisan, terlebih lagi calon anggota DPD yang tidak ada kaitannya dengan partai politik.
Bahwa jika dikaitkan profesi PNS yang harus netral, ini memang harus selayaknya seperti itu, cuma netralitas PNS tidak ada titik singgunggya dengan hak warga negara untu k memajukan dirinya. Konsepsi netralitas adalah norma yang berlaku bagi profesi PNS tersebut saat dia menjalankan profesinya, unsur netralitas sangat berpengaruh dengan adanya jabatan yang melekat, fasilitas yang dimiliki, makanya unsur ini harus dicopot tetapi bukan status pekerjaannya yang harus dimusnahkan.
Ini ranahnya bukan lagi soal jabatan apakah jabatan negeri, jabatan organik atau jabatan negara, tapi soal hak azazi warga negara yang dalam hal ini hak azazi PNS yang diamputasi yaitu hak azazi dalam bidang mendapatkan pekerjaan (yakni pekerjaan PNS itu yang sudah mereka pilih) (melanggar Pasal 27 UUD 1945) dan hak azazi PNS dalam mewujudkan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif (Pasal 28 UUD 1945).
Ketiga, tujuan pembuatan Undang-Undang
Bahwa tujuan Undang-Undang menurut Jeremy Bentham adalah memberikan kebahagiaan bagi setiap orang. Justru di sinilah ironisnya, bahwa seseorang yang berprofesi sebagai PNS yang ingin memperoleh jabatan sebagai pejabat negara harus merelakan hak pekerjaannya sebagai PNS untuk diberhentikan yang tidak bisa ditarik dan dimasukinya kembali jika usianya melebihi syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, sementara ia belum tentu memperoleh jabatan yang ia inginkan. Padahal jabatan itu merupakan jabatan publik yang terbuka untuk umum yang harus dapat diperoleh berdasarkan asas fair, equality, dan freedom. Persyaratan Pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) Undang-Undang a quo merupakan tekanan bagi PNS untuk tidak mencalonkan diri sebagai pejabat negara yang disebutkan pada pasal a quo.
Izinkan kami mengutip pandangannya Hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki dalam dissenting opinion Beliau terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materi terhadap Pasal 59 ayat (5) huruf g UU 12/2008 tentang Pemerintah Daerah. Beliau mengatakan “Padahal dari sisi profesionalitas, belum tentu PNS kalah untuk mengatasi persoalan yang terjadi di pemerintahan di daerah dibandingkan dengan calon yang bukan PNS.”
Ini menunjukkan secara kompetensi PNS adalah salah satu profesi elemen anak bangsa yang patut diapresiasi dan diberikan kesempatan untuk mengatasi persoalan yang terjadi di pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Disatu sisi jika negara memberhentikan PNS tersebut, yang tentunya PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi pejabat negara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal a quo adalah PNS yang memiliki kualitas, kompetensi dan pengalaman yang cukup banyak dipemerintahan, hal ini akan merugikan negara sendiri karena PNS adalah investasi SDM negara yang sangat besar. Dalam proses pembinaan dan peningkatan kualitas dan kapasitas SDM PNS memerlukan berbagai jenis pendidikan, pelatihan, seminar, workshop dan sebgainya yang telah memakan biaya negara yang cukup besar, haruskah negara hanya karena panggilan jiwa PNS yang ingin membangun negerinya, negara harus mengorbankan begitu besar investasi yang telah dikeluarkan untuk peningkatan SDM anak bangsanya ?
Keempat, kajian kami terhadap aspek formil dalam pembuatan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan kajian dalam dokumen Risalah maupun Naskah Akademisnya.
Dalam aspek formil pembuatan RUU tentang ASN, setelah kami baca dan pelajari secara teliti risalahnya. Ternyata dalam perdebatan dan perumusan untuk pengaturan bahwa PNS jika mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi pejabat negara mereka wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon, sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) UU No.5 Tahun 2014. Didalam risalah dan perdebatan para pembuat Undang Undang ASN ini tidak terlihat sedikit pun adanya konsepsi filosofi dasar, argumentasi teoritis maupun aspek juridis yang menjadi argumentasi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan bagi warga negara terutama bagi profesi PNS yang profesinya harus diamputasi, padahal nyata-nyata profesi dan pekerjaanya dilindungi oleh Negara pasal 27 dan 28 UUD 1945.
Begitu juga halnya dalam naskah akademik tidak ditemukan satu kalimatpun yang mencantumkan pokok pokok bahasan teoritik dan argumentasi ilmiah tentang hal yang menjadi landasan pijak bahwa Pegawai Negeri Sipil yang mencalonkan diri menjadi pejabat negara sebagaimana pasal a quo mereka wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.
Hal ini semakin memperkuat kesan bahwa dalam penyusunan UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN ini faktor politis lebih kuat ketimbang faktor akademik ilmiah dan faktor tujuan utama dalam pembuatan Undang-Undang sebagaimana yang dikatakan oleh Jeremy Bentham bahwa tujuan dibuatnya Undang-Undang adalah memberikan kebahagiaan bagi setiap orang.
Bahwa Undang-undang ini semakin menekan keberadaan profesi PNS juga terkonfirmasi dari pernyataan menteri pendayagunaan aparatur Negara dalam berita harian Indopos 6 mei 2014 yang menyatakan “bahwa keputusan itu atas permintaan DPR RI untuk meningkatkan profesionalisme PNS” berarti pasal ini menyiratkan adanya sesuatu yang belum beres antara DPR dan pemerintah, secara tidak langsung menyiratkan pula bahwa UU ini disyahkan secara terburu-buru dan sarat dengan muatan yang tidak fairness.
Demikianlah pokok-pokok perbaikan permohonan kami terhadap Uji Materi pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini.
Lebih dan kurang kami honon maaf, kami berharap Majelis Hakim Yang Mulia dapat mempertimbangkan dan memutuskan permohonan kami ini dengan sejernih dan seadil-adilnya.
Terima kasih, Wabillahitaufiq Walhidayah
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 10 Juli 2014
Pemohon
Mantap bro…. semangat! Didampingi staf ahli ketatanegaraan, saran.