Oleh : Empi Muslion
Hari ini 1 Oktober 2015 yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, dalam sejarah ketatanegaraan kita terutama dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia, pasca era reformasi juga memiliki catatan sejarah tersendiri, yakni lahirnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang hari ini genap 11 tahun usianya. Bertepatan dengan 11 tahun DPD RI, penulis ingin memberikan secuil catatan tersendiri sebagai kado terindah dalam merefleksikan makna keberadaan DPD RI.
Banyak hal sebenarnya yang dapat dicatat sebagai sebuah kaleidoskop perjalanan lembaga ini. Baik eksistensi dan perjuangannya dalam menentukan jenis kelamin dan makna kehadirannya bagi Ibu Pertiwi, sisi perjuangan dan tujuan anggotanya untuk menjadi seorang wakil daerah, sisi fungsi legislasi yang telah dilakukannya, sisi memperjuangkan daerah dan masyarakatnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Sisi edukasi, advokasi, empowerment dan enlightemen yang dilakukan oleh anggota DPD RI bagi konstituennya. Sisi manajemen, struktur, cultur dan ketatalaksanaan organisasinya, sisi kepemimpinan DPD RI, sisi hubungan lembaga DPD RI dengan lembaga negara lainnya, dan sisi-sisi lainnya yang bisa disorot dari berbagai dimensi.
Kesempatan ini penulis hanya ingin merefleksikan 11 tahun kehadiran DPD RI berkaitan dengan 7 hari menjelang hari jadi DPD RI yang ke 11 hari ini, dimana Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan berkaitan perjuangan uji materi yang dilakukan oleh DPD RI.
Dalam amar ketetapan dan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, salah satu frasenya MK menyatakan “bahwa DPD RI tidak memiliki relevansinya sama sekali untuk ikut membahas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama bersama DPR dan Presiden, DPD RI hanya sebatas memberikan pertimbangan, karena UUD 1945 sengaja membedakan antara pertimbangan dengan persetujuan.”
Begitupun dengan sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia, MK menegaskan “bahwa Indonesia tidak menganut sistem bikameral sesuai dengan bentuk negara Indonesia yaitu negara kesatuan. Lembaga perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945, juga tidak mengenal majelis tinggi dan majelis rendah. Baik DPR maupun DPD adalah lembaga perwakilan yang tugas, wewenang, dan fungsinya telah ditentukan dalam UUD 1945. DPR merupakan representasi perwakilan rakyat, sedangkan DPD adalah representasi perwakilan daerah.”
Berkaitan dengan aspek kesenatan dan istilah senator yang dilekatkan oleh anggota DPD RI selama ini, MK menyatakan bahwa “secara historis, DPD tidak pernah dirancang dan diniatkan sebagai senat seperti misalnya yang dikenal di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, anggota DPD bukanlah senator. Tugas, wewenang dan fungsi DPD sama sekali berbeda dengan tugas, wewenang, dan fungsi senat dalam lembaga perwakilan yang merupakan model bikameral.”
MK bahkan menambahkan amar putusannya dengan mereview kembali jejak kehadiran DPD RI, yang menyatakan “secara historis, kelahiran DPD adalah perluasan tugas, wewenang, dan fungsi utusan daerah yang dikenal pada masa sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Karena itu, namanya sempat diusulkan sebagai Dewan Utusan Daerah. Semangat yang melandasi pembentukan DPD adalah semangat memperkuat negara kesatuan Republik Indonesia yaitu dengan cara memberikan kewenangan kepada wakil-wakil daerah (anggota DPD) untuk turut ambil bagian dalam pengambilan putusan politik tertentu sepanjang berkenaan dengan daerah.”
Membaca amar putusan MK ini, sontak penulis sangat kaget sekaligus meyakinkan diri penulis terhadap apa yang pernah penulis kaji sebelum ini, tentu tanpa ada pretensi dan kepentingan subjektif apapun. Pemikiran penulis murni untuk nusa dan bangsa. Murni untuk sumbangsih pemikiran dalam tataran keinginan untuk melihat kemarwahan dan kebesaran peradaban negara sesuai cita-cita founding father.
Kiranya putusan MK sejalan dengan aliran pemikiran penulis yang pernah penulis tulis dua tahun nan lalu, yang penulis beri judul “Inkonsistensi dan Format Ulang DPD RI’ berikut penulis nukilkan kembali catatannya disini;
Pasca tragedi kehancuran wibawa Mahkamah Konstitusi didepan mata masyarakat, marak kembali wacana untuk amandemen konstitusi, karena dianggap aturan yang mengatur MK masih banyak celah yang lemah sehingga sulit untuk menjauhkannya dari pengaruh kepentingan dan kekuasaan.
Tapi sebenarnya jauh sebelum terjadi tragedi di tubuh MK, nun disudut senayan tepatnya di DPD RI, para anggotanya sudah penat berkoar untuk meninjau kembali konstitusi dengan mengajukan amandemen komprehensif terhadap UUD 1945. Tapi apa nyana, suara-suara itu hanya lewat tersapu angin lalu, gayung tak bersambut. Akibat ulah Akil Mochtar, beberapa kalangan dan kaum cendikia seolah terjaga dari tidurnya, karena itulah saat ini wacana amandemen marak kembali dihembuskan.
Sehubungan dengan wacana amandemen terhadap pondasi dasar dan traktat perjanjian hidup anak bangsa nusantara untuk berkomitmen hidup bersama dalam keranda NKRI, bersama ini saya mencoba melihat satu unsur kelembagaan yang ada dalam konstitusi tertinggi UUD 1945 yang telah diamandemen yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang lahir sebagai jabang reformasi.
Dari beberapa catatan realitas sejarah lahirnya DPD RI, saya menangkap ada beberapa inkonsistensi keberadaan lembaga DPD RI saat ini dengan gagasan dan sejarah awal konsep ideal kelahiran negara ini, diantaranya :
1. Inkonsistensi Historis, Filosofis dan Bentuk Negara
Saat ini, sering kita mendengar anggota DPD RI yang secara implisit mengistilahkan diri dengan sebutan senator. Saya melihat keberadaan anggota DPD RI sebenarnya tidaklah konsisten dengan kondisi realitas perjalanan bangsa Indonesia dalam berketatanegaraan dalam bingkai NKRI.
Dari pengalaman perjalanan sejarah, bangsa Indonesia memang pernah memiliki Senat dalam sistem ketatanegaraannya, tetapi senat yang dimaksud dalam UUD RIS 1949-1950, filosofi semangat dan rohnya tidaklah sama dengan DPD RI saat ini. Senat dimasa UUD RIS 1949-1950 itu muncul karena konsekuensi logis dan konsisten dengan bentuk negara kita yang federasi bukan kesatuan. Setelah kembali ke UUD 1945 maka senat ditiadakan, perwakilan daerah kembali ditampung dalam representasi di MPR RI yakni dengan sebutan Utusan Daerah.
Dalam perdebatan ilmiah ketatanegaraan, sering juga kita membandingkan konsep bikameralisme yang mau kita anut dengan konsep negara lain. Ini boleh dan sah-sah saja untuk sebuah komparasi konsep. Tetapi yang harus diingat kita jangan terjebak sebatas membandingkan bentuk negara dan model parlemennya. Kita kadang terlalu gampang menjustifikasi untuk pembenaran penguatan bikameralisme di Indonesia dengan membandingkan bahwa banyak negara yang bentuk negaranya kesatuan tetapi menganut model parlemen bikameral, seperti Prancis, Belanda, Jepang, Afrika Selatan, Mesir, Maroko, Thailand, Filiphina, Kazakhastan, Mauritinia, Yordania, Aljazair dan sebagainya.
Menurut saya tidaklah bisa semudah itu kita membandingkannya, karena historis kelahiran sebuah negara, struktur, kultur, tradisi, sosiologis, anthropologis, psikologis, ethnographis, sistem dan iklim politik, geopolitik dan berbagai pendekatan lainnya sangat jauh berbeda. Kita selama ini hanya melihat dari sisi ketatanegaraan saja, tetapi jarang melihat sebuah sistem secara komprehensif dari berbagai sudut pandang elemen yang mempengaruhinya.
Pertanyaannya bukan karena bentuk negara apakah Kesatuan atau Federal sistem bikameral diterapkan, karena tidak ada langgam, teori dan praktek yang an sich untuk konsep bikameralisme ini. Tapi yang perlu kita kaji lebih jauh adalah apakah keterwakilan suara daerah sudah mempresentasikan segenap elemen dan unsur yang ada di setiap daerah. Selain itu apakah unsur perwakilan daerah itu harus ditampung dalam sebuah desain kelembagaan setara dengan DPR RI atau cukup ditampung dalam MPR RI seperti konstitusi sebelum diamandemen, karena desain kelembagaan harusnya manifestasi dari filosofi, nilai dan semangat yang hidup disuatu negara.
Dalam sejarah pembentukannya, para founding father kita merancang lembaga legislatif di negara Indonesia ini yang termaktub dalam UUD 1945, menggali dan mengkajinya berdasarkan filosofi, nilai dan semangat yang hidup dan tumbuh di nusantara ini, yakni filosofi Musyawarah, Gotong Royong dan Perwakilan. Karena itu warna warni perbedaan tersebut ditampung dalam badan perwakilan yang namanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, adapun secara garis besarnya unsur keanekaragaman itu adalah representasi politik, representasi wilayah dan representasi golongan dan profesi.
Karena itu dalam MPR ada yang namanya DPR sebagai perwakilan politik, Utusan Daerah sebagai perwakilan wilayah dan Utusan Golongan sebagai perwakilan golongan dan profesi. Namun dalam perkembangannya, akibat euphoria reformasi yang terlalu lupa diri, kita mereduksi filosofi ini, semangat gotong royong, kekeluargaan dan musyawarah kita rombak menjadi semangat individual dan dikotomis. Karena itulah desain keparlemenan kita menjadi polos dan lugas yakni terdiri atas DPR RI dan DPD RI.
2. Inkonsistensi representasi
Dikutip pernyataan jimly (2007;156) bahwa prinsip yang dianut dalam UUD 1945 “semua harus terwakili” yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (political representation, perwakilan teritorial (territorial representation) atau perwakilan daerah (regional representation) dan perwakilan fungsional (functional representation) yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI.
Menjadi sebuah pertanyaan kemana perginya prinsip keterwakilan fungsional di MPR RI yang selama ini dipresentasikan oleh utusan golongan di MPR RI pasca amandemen UUD 1945 ? berarti kemunculan DPD RI adalah diskriminasi yuridis terhadap realitas representasi golongan yang sesungguhnya berkembang ditengah masyarakat, seperti tidak terakomodasi dan terpresentasikannya golongan adat, golongan agama, golongan profesi, golongan organisasi massa dan lainnya yang amat banyak membentuk sistem sosial ditengah kehidupan bangsa Indonesia.
Saat ini tidak benar lagi dan merupakan sebuah inkonsistensi, jika ada argument dan justifikasi yang menyatakan bahwa DPD RI merupakan representasi perwakilan ruang berupa daerah/territorial, dan DPR RI mempresentasikan rakyat pada umumnya dengan orientasi nasional. Realitasnya saat ini, dalam syaratnya untuk rekrutmen menjadi anggota DPR dan DPD adalah sama, semua serba normatif tidak ada syarat substanstif dan afirmatif yang jelas membedakan rekrutmen lewat parpol untuk representasi politik dan rekrutmen untuk mendapatkan representasi territorial, apalagi anggota DPD boleh dari partai politik bahkan menjadi pengurus partai politik. Sehingga antara anggota DPD RI dan DPR RI tidak ada bedanya secara representasi.
3. Inkonsistensi Independensi
Salah satu unsur pembeda DPD RI dengan DPR RI adalah sisi kenetralannya dalam politik, tetapi sekarang malah anggota DPD RI bisa dari partai politik dan menjadi pengurus partai politik.Hal ini terjadi akibat perubahan dalam Pasal 63 huruf (b) UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu bahwa “syarat menjadi calon anggota DPD tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya empat tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.” Namun dalam UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu sayarat ini tidak ada lagi dan menyatakan bahwa “pengurus partai politik boleh menjadi anggota DPD.” Ambigunya jika bagi PNS, TNI, Anggota kepolisian, pengurus pada BUMN harus mundur dari profesi dan status kepegawaiannya dan tidak dapat ditarik kembali.
Saat ini banyak anggota DPD RI yang berasal dari partai politik. Hal ini menyebabkan independensi perwakilan dan kenetralan anggota DPD RI yang dari parpol untuk menyuarakan aspirasi masyarakat legitimasinya patut dipertanyakan. Dimana unsur perwakilan territorialnya ? bukankah ini lebih kepada perwakilan titipan partai di DPD RI untuk membagi bagi kursi dalam pemilu ? mengakibatkan hilangnya semangat independensi keberadaan DPD RI dari independensi menjadi partisan partai politik.
4. Inkonsistensi Ilmiah
Munculnya lembaga DPD RI tidak terlepas dari kepentingan partai politik dan lahir secara kompromistik dengan cara lobi-lobi, bukan didasari atas kajian ilmaih dan penggalian filosofistik sosilogis dan cultural bangsa Indonesia. Ini bisa disebut pengingkaran ilmiah dalam pembuatan sebuah regulasi. Sebagaimana yang kita ketahui, saat pembentukan DPD RI terjadi deadlock akibat Fraksi Utusan Golongan tidak menerima dihapus dari MPR RI, begitupun perdebatan tentang kewenangan dan status Dewan Perwakilan Daerah muncul dikalangan fraksi di MPR, sebagian ada yang mendukung jika DPD diberi status sama halnya dengan DPR yakni sebagai lembaga legislatif.
Fraksi PDIP saat itu menolak jika status DPD disamakan dengan DPR, sedangkan Fraksi Partai Golkar justru meminta kedua-duanya mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan yang sama. Kemudian Fraksi PPP lah yang muncul sebagai hakim penghulu untuk menengahi diantara keduanya, dimana DPD tetap diberi kewenangan legislasi, hanya saja bersifat terbatas. Melalui kompromi yang dilakukan diantara ketiga fraksi tersebut, akhirnya sepakat bahwa DPD diberi kewenangan terbatas dalam bidang legislasi seperti yang berlaku sekarang ini, bak singa ompong yang tak bergigi.
Format Ulang DPD RI
Bagaimanapun negara ini tidak bisa menampik keberadaan dan eksistensi keberadaan representasi wilayah dan golongan di Negara ini, jauh sejak zaman kerajaan sampai saat pembentukan Indonesia Merdeka dan sampai saat ini, figurasi kemajemukan Indonesia tetap diakomodasi dalam konstitusi. Karena itu menghilangkan representasi perwakilan daerah dan perwakilan golongan dalam konstitusi juga bukanlah sebuah solusi dan kebijakan terbaik bagi bangsa ini.
Cuma yang perlu diperbaiki kedepannya, menurut saya pertama adalah pola rekrutmen calon anggota perwakilan wilayah/daerah yang betul-betul mewakili representasi wilayahnya, tokoh tokohnya haruslah orang yang benar-benar menjadi panutan dan disegani yang memiliki kapasitas, kapabilias dan aksestabilitas yang tinggi di daerahnya, karena itu pola rekrutmennya harus ada syarat yang ketat dan adaaffirmative action, sehingga syarat yang bisa menjadi perwakilan daerah tidak bisa diberlakukan secara umum begitu saja.
Tokoh yang bisa mendaftar adalah yang betul-betul netral dan independensi, tidak terafiliasi dengan partai politik, mengenal dan pernah tinggal didaerahnya selama sekian tahun, dan berbagai syarat yang memenuhi unsur kompetensi dan integritas lainnya.
Kedua, dalam lembaga perwakilan daerah ada perimbangan unsur representasi perwakilan wilayah dan representasi golongan profesi. Selama ini kita lihat filosofi keberadaan DPD RI cenderung hanya mewakili ruang atau kewilayahan saja dalam arti mewakili secara fisik, sedangkan elemen-elemen yang ada dalam ruang tersebut yang merupakan subjek dan roh utamanya tidak tersentuh sama sekali.
Karena itu perlu diakomodasi perwakilan-perwakilan golongan dan profesi seperti golongan adat, golongan agama, golongan masyarakat perbatasan, golongan masyarakat pesisir, golongan lansia, ormas dan sebagainya begitupun perwakilan profesi seperti buruh, Pegawai Negeri Sipil, TNI/Polri, Advokat, Dokter, Petani, dan sebagainya.Karena filosofi, nilai dan semangat awal founding father membentuk lembaga perwakilan rakyat tertinggi bagi Negara ini yang namanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah filosofi keterwakilan berbagai unsur yang ada di negara ini, sebagai perekat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang saat ini tugas, fungsi dan kewenangannya semakin terdegradasi.
Ketiga, dari perbaikan pola rekrutmen diatas, kemudian bentuk dan kewenangan lembaganya perlu ditata kembali, karena saat ini lembaga legislatif kita serba tidak menentu apakah satu kamar, dua kamar atau tiga kamar. Sebenarnya bukan hanya DPD RI yang dipertanyakan keberadaannya apakah badan legislataif atau bukan, karena memang tidak ada hak legislasi kongrit dan hak sebagai legislator lainnya yang dimiliki DPD RI. MPR pun juga perlu dipertanyakan dalam kondisinya saat ini, apakah parlemen atau bukan. Nantinya diharapkan, desain kelembagaan betul-betul dikaji secara jernih dan komprehensif, seperti apakah nanti MPR menjadi joint session saja tanpa ada lembaga permanennya, apakah lembaga yang mempresentasikan perwakilan wilayah dan golongan ini menjadi badan tersendiri dengan seperangkat kewenangan mutlak yang dimilikinya atau sebuah badan yang berdiri dibawah naungan MPR RI.
Semuanya harus matang dikaji kembali, lepas dari segala kepentingan politik yang menungganginya. Semoga jika memang kembali para cendikia dan tokoh-tokoh bangsa ini melakukan amandemen terhadap UUD 1945, diharapkan betul-betul lahir dari kejernihan hati dan keluar dari hasil kebersihan metodologi penelitian ilmiah yang betul-betul dikaji, dianalisis, dikomparasi, ditimbang dari berbagai segi dan dikerjakan dengan cara serius dan seksama.
Sehingga konstitusi kita dapat bertahan sekian abad kedepan dan tidak selalu ribut dengan menyalahkan konstitusi tersebut untuk selalu diutak atik kembali. Itulah setitik catatan penulis sebagai partisipasi intelektual dalam refleksi 11 tahun DPD RI.Jayalah Indonesia, Jayalah sistem perwakilan Indonesia.
Bisa juga dilihat disini :https://empimuslion.wordpress.com/2013/12/17/inkonsistensi-dan-format-ulang-dpd-ri/ *)
Keterangan Foto Utama : (Dinding depan gedung Nusantara IV komplek MPR, DPR dan DPD RI, dok.Pribadi.)
Tinggalkan Balasan