PILKADA DAN “SAKIT JIWA” BIROKRASI
Oleh : EMPI MUSLION, AP, S.Sos, MT, MSc
(Direktur Lembaga Kajian Menara Demokrasi dan Otokritik Otonomi Daerah)
Gaung Pemilihan Kepala Daerah di Sumatera Barat yang merupakan sebuah hajatan rutin demokrasi secara prosedural kembali bergema, baik untuk Pilkada Gubernur maupun untuk pemilihan beberapa Bupati/Walikota. Sudah banyak calon yang bermunculan, baik dimunculkan oleh apresiasi masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan, partai politik maupun memunculkan diri sendiri, semua itu tentunya semakin menambah dan menggairahkan iklim demokrasi di Indonesia dan Sumatera Barat khususnya.
Sehubungan dengan pilkada ini, tidak dapat dipungkiri akan selalu ada sorotan ataupun gunjingan akan keberadaan birokrasi yang dipresentasikan oleh para Pegawai Negeri Sipil. Sorotan utama adalah tentang netralitas dan atau keberpihakan para birokrat kepada calon peserta pilkada tertentu.
Dalam tataran juridis formal sebenarnya netralitas PNS dalam pilkada telah diatur seperti dalam PP no 6 tahun 2005 tentang netralitas PNS dalam Pilkada maupun surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang netralitas PNS dalam Pilkada. Namun bagaimanapun aturan yang ada tersebut tetap ada celah yang tak bisa ditembus oleh perangkat kaca mata hukum karena beragamnya motif, model dan bentuk keberpihakan PNS terhadap kontestan pilkada yang ada, apalagi aturan tersebut hanya mengatur secara normatif belum menyentuh aspek substansial. Selain itu sulitnya membedakan antara kegiatan administratif formalistik yang dijalankan oleh birokrasi antara tuntutan profesionalitas dengan balutan yang sebenarnya dukungan informalistik terselubung terhadap pasangan calon tertentu, apalagi jika kegiatannya berlangsung disaat diluar jam dinas para PNS, maka kata netralitas itu hanya akan menjadi sebuah bayangan semu belaka dan akan tetap menjadi sebuah lobang yang gelap untuk diselidiki, dia terasa tetapi tidak teraba.
Relasi Birokrasi dan Politik
Relasi birokrasi dengan politik di Indonesia selalu mengalami fluktuatif. Di masa kolonial, gejala bureaumania beambtenstaat (pegawai negeri) cukup menonjol. Perilaku birokrasi yang cenderung menjadi komprador, memata-matai masyarakat sendiri, dan menjadi kaki tangan bagi kepentingan bangsa penjajah adalah beberapa contohnya (The Beambtenstaat in Indonesia, McVey, 1982).
Sedangkan pada masa Orde Lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pegawai negeri sipil (PNS) menjadi kekuatan politik penopang Golongan Karya (Golkar). Untuk mempertahankan status quo rezim (Orde Baru), kala itu pemerintah bahkan menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 yang isinya melarang pegawai negeri menjadi anggota partai politik. Produk hukum tersebut merugikan partai lain, khususnya PNI, yang saat Pemilu 1955 mendapat dukungan luas dari kalangan birokrasi.
Di era Orde Baru, tidak dapat disangkal lagi, peran birokrasi di bidang politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah. Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung otoritarianisme.
Oleh karena itu, tidak heran apabila Karl Jackson dalam tulisannya “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for The Analysis of Power and Communications in Indonesia” (1978) menyebut perilaku para aparatur birokrasi di Indonesia ini sebagai bureaucratic polity. Karena, proses kebijakan publik hanya ditentukan oleh elite birokrat sipil dan militer. Selain itu, Crouch, juga, dalam Journal World Politics (1979, Vol.31, No.4), yang berjudul “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”, menuliskan sudah sejak lama birokrasi di Indonesia digunakan sebagai instrumen untuk mendukung rejim developmentalist. Birokrasi, oleh Orde Baru, telah dijadikan instrumen untuk melakukan kooptasi terhadap elemen-elemen masyarakat demi tujuan “stabilitas nasional”(Agustino, Pikiran Rakyat).
Setelah rezim Orde Baru jatuh, dan digantikan oleh era reformasi tahun 1998, terjadilah perubahan sistem politik yang sangat fundamental, terutama menyangkut hubungan pusat dan daerah. Dari pola yang sentralistik, menjadi lebih otonom dan terdesentralisasi. Perubahan ini disatu sisi memberikan arti positif yaitu untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, tetapi disisi lain adalah terfragmentasikannya PNS kedalam kepentingan politik praktis.
Utopia Netralitas Birokrasi
Akan halnya dengan hajatan pilkada yang telah didepan mata, akankah birokrasi akan bisa netral ? bukankah itu hanya sebuah utopia ? pertanyaan pertanyaan ini pasti akan selalu hadir, karena itu pada kesempatan ini ada beberapa faktor yang dapat kita cermati bersama.
Sejak berlakunya UU nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak bisa dipungkiri bahwa perpolitikan di negara kita sampai saat ini masih bersifat katastrop, penghuni pejabat politik daerah kental dengan nuansa putra asli daerah walau dalam semangat UU tersebut tidak ada mengamanatkan hal yang demikian namun dalam realitasnya semangat kesukuan dan teritorial sepertinya menjadi simultan dengan otonomi daerah.
D. Sudiman (2009) dalam penelitiannya yang dilakukan pada pilkada gubernur Sulawesi Selatan dan Banten menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan sulitnya birokrasi untuk netral yaitu faktor internal birokrasi dan faktor eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi netralitas birokrasi yaitu sentimen primordialisme dan logika kekuasaan. Faktor primordialisme lebih kepada kedekatan etnisitas, kesukuan dan agama. Sedangkan faktor logika kekuasaan dikarenakan adanya ketidakpastian sistem dalam penjenjangan karir seorang PNS. Ada sebuah spekulasi politik dan kekuasaan yang diharapkan dari PNS yang memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada, yaitu akan meningkatkan karir di birokrasi ketika calon yang didukung menang.
Secara eksternal adalah adanya ambiguitas regulasi yang membuat birokrasi menjadi tidak netral dan independen atau apa yang disebut dengan shadow state yaitu kekuatan diluar birokrasi yang mampu mengendalikan birokrasi. Kekuatan dominan muncul dari kelompok jawara dan pemilik modal yang memiliki akses politik dengan pusat kekuasaan. D. Sudiman juga menjelaskan bahwa liberalisasi dan reformasi politik,ternyata tidak diikuti oleh reformasi perubahan ditingkat regulasi. Pada satu sisi PNS diharapkan bersikap professional, akan tetapi dalam penjenjangan karirnya, karir PNS sangat ditentukan oleh pejabat Pembina PNS, dalam hal ini Gubernur, Bupati atau Walikota. Sementara mereka kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme politik. Oleh sebab itulah kepala daerah terpilih dari partai politik, memiliki kekuasaan yang sangat kuat (powerfull authority) untuk menarik PNS dalam politik praktis.
Anehnya birokrat yang menjalankan prinsip netral (netralitas) malah menjadi korban dan dimutasi ke tempat-tempat yang tidak mereka kuasai bidangnya, tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan atau dibiarkan kariernya jalan ditempat oleh kepala daerah terpilih melalui pilkada. Mereka yang aktif berpolitik dan menjadi tim sukses tentunya secara terselubung (dalam hal ini para pegawai negeri sipil) justru menuai banyak keuntungan pasca jagoan mereka terpilih sebagai kepala daerah.
Akibat pengimplementasian konsep otonomi daerah yang salah kaprah, yang hampir semua daerah secara sadar atau tidak sadar menempatkan penunggang birokrasinyapun dengan yang berbau putra daerah, Akhirnya aroma primordialisme yakni kedekatan etnisitas, kesukuan, latar belakang pendidikan, agama, dsb, dan logika kekuasaan akan mempengaruhi netralitas birokrasi. Hal ini menyebabkan hampir semua mesin birokrasi selalu dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Maka tidaklah berlebihan jika “Sakit jiwa” birokrasi (bureaumania) tersebut, semakin kambuh dan bersemi dalam setiap musim hajatan pilkada tiba, objektifitas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat berubah menjadi subjektifitas abdi perorangan (calon pilkada) dan abdi kekuasaan.
Hal ini terjadi mengingat faktor budaya politik dan budaya birokrasi di Indonesia yang ternyata tidak sejalan dengan proses liberalisasi politik dan system demokratisi secara langsung. Belum hilangnya ingatan masyarakat akan kentalnya keberpihakan birokrasi terhadap Golkar dalam pemilu dasawarsa lalu dan diperparah dengan masyarakat yang masih menganut patronase politik dan budaya feodalistik, netralitas birokrasi menjadi sesuatu yang sangat utopia. Pola hubungan patron-client serta politik balas jasa, membuat posisi PNS menjadi lebih mudah terkooptasi oleh kepentingan politik rezim tingkat lokal.
Akhirnya hal ini terpaksa bisa diterima dan dimahfumi walaupun tidak bisa dibenarkan dalam kerangka pikiran logis, juridis dan idealis, bahwa kedewasaan dan peradaban birokrasi kita masih belum bisa lepas dari sakit jiwa birokrasi yang telah lama menggerogotinya.
Tinggalkan komentar