Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Opini’ Category

Oleh : Empi Muslion

Part 1 : Lega

Alhamdulillah lega rasanya saya mendengarkan isi pidato Presiden Republik Indonesia Pak Jokowi pada Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Bogor, Jawa Barat, rabu (13/11/2019).

Kebetulan satu hari sebelumnya saya baru saja menulis curhatan pikiran saya tentang dinamika birokrasi Indonesia terutama soal penyederhanaan birokrasi sebagai kontemplasi dan saran tindak atas wacana besar tentang penyederhanaan birokrasi yang diusung Pak Presiden, yang saya beri judul “Disrupsi Birokrasi” (Bisa dibaca di FB sebelumnya).

Sebenarnya saya sudah mulai agak apatis dan menurunkan level kritis saya melihat fenomena birokrasi kita yang sepertinya tidak maju-maju, selalu mendapatkan sorotan dari masyarakat, dan pemandangan pejabat negara dan pejabat birokrasi yang tak lepas dari jerat kasus pidana.

Ternyata Alhamdulillah Bapak Presiden merasakan hal itu, gerah dengan semua itu, dan Presiden memasukkan agenda penyederhanaan birokrasi sebagai agenda prioritas dalam target kerja Kabinet Periode 2019-2024. Pengalaman atmosfir optimis saya ”Duduk Semeja Dengan Jokowi” (dapat dibaca diblog saya empimuslion.wordpress.com) saat Pak Jokowi menjabat Gubernur serasa bangkit dan bergairah kembali.

Namun jika disimak pula pernyataan Menpan-RB saat rapat kerja dengan Komisi II DPR RI hari Senin, 18/11/19, sepertinya gagasan pemangkasan birokrasi oleh presiden diterjemahkan sebagai perampingan oleh Kemenpan, apakah arti dan substansinya sama, kita lihat bersama saja.

“Ada tantangan PAN-RB, karena pertanyaan Pak Presiden ke saya, sejauh mana reformasi birokrasi dengan cepat dilakukan. Jadi dalam waktu dekat, kita enggak pangkas birokrasi, tapi merampingkan,” kata Tjahjo di Ruang Rapat Komisi II (Tribunnews.com).

****
Saya memang memiliki perhatian dan kepedulian tersendiri terhadap birokrasi di negara kita, disamping profesi saya sebagai birokrat sehari-hari, saya juga mencoba menjadi pemerhati dan akademisi, karena itu saya beranikan diri untuk menyampaikan ide dan buah pikiran saya.

Terlepas apakah akan dibaca, digunakan atau tidak untuk menjadi bahan pertimbangan bagi yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Paling tidak saya sudah berikhtiar, mencurahkan apa yang ada dipikiran saya untuk kebaikan bangsa tercinta ini.

Sebelum ini saya juga sudah pernah menginisiasi, membuat naskah argumentasi hukum dan mengajukan uji materi UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara (pokok pokok pikiran uji materi dapat dibaca di buku saya).

Walaupum hanya dikabulkan sebagian oleh hakim Mahkamah Konstitusi, tetapi paling tidak saya sudah mencoba memberikan masukan buat kemaslahatan dan kebaikan anak bangsa, pun dalam isu dan wacana yang beredar saat ini, sepertinya gagasan saya dalam uji materi UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang ASN tersebut kembali menjadi isu dalam revisi UU tentang pemilihan kepala daerah saat ini.

Inti tuntutan dan gagasan saya dalam uji materi tersebut tiada lain hanya menuntut tentang persamaan hak setiap warga negara didepan hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pekerjaan yang keduanya dijamin dalam konstitusi UUD 1945, yang mana hak ini dalam UU ASN saya rasakan dikebiri.

Disamping itu saya juga sudah membukukan beberapa pendapat dan gagasan saya tentang pandangan saya terhadap demokrasi dan birokrasi di Indonesia, kumpulan tulisan saya dari berbagai media masa dan blog saya sendiri, dengan judul “Kontemplasi Demokrasi, Politik dan Pemerintahan Pasca Reformasi,” (dapat di searching di mbah google). Tiada lain semua catatan itu curhatan kecil demi kebaikan birokrasi dan kemaslahatan negeri ini.

Maaf, tiada maksud saya untuk menyombongkan diri, menyampaikan apa yang pernah saya karyakan tersebut. Apa yang saya lakukan tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan apa yang sudah dikontribusikan oleh anak bangsa lainnya terhadap kemajuan peradaban birokrasi Indonesia.

Tiada lain saya sampaikan, sedikit apa yang pernah saya ikhtiarkan untuk kebaikan birokrasi Indonesia, hanya sebagai background bagi para pembaca yang budiman tentang saya, sebelum masuk ketopik gagasan reformasi birokrasi yang ingin saya sampaikan.

Sekaligus saya ingin memberikan gambaran betapa serius dan gregetnya saya untuk dapat melihat birokrasi kita maju, modern, profesional, berintegritas dan berwibawa serta dapat dipercaya, ini tentu bukan harapan saya semata, adalah harapan seluruh masyarakat Indonesia.

***

Ada memang beberapa teman saya yang sayang dan risau dengan saya, mereka mengatakan ;
“Mas Empi !”
“Apa nggak takut bikin tulisan yang kritis terhadap pemerintah”
“kan Mas Empi juga PNS.”
Saya tersenyum dan bertafakur, saya tarik nafas dalam-dalam, kemudian saya hembuskan pelan-pelan, saya ajak teman saya itu duduk, saya katakan, ”Mas, saya tidaklah kritis, saya hanya ingin menyampaikan uneg-uneg, ide, gagasan. Menyampaikan apa yang saya rasa, apa yang saya baca, apa yang saya dengar dan saya alami sendiri. Semua itu bukanlah buat kepentingan saya pribadi, tetapi kepentingan bangsa kita bersama, murni itu jeritan hati saya untuk kebaikan bangsa ini.”

Jikapun dianggap kritis, kita kritis kepada diri sendiri dan bangsa sendiri tidak ada yang salah, itu namanya otokritik, otokritik adalah ibarat antibodi bagi kesehatan kita, imun yang diproduksi oleh diri sendiri, lebih mujarab dari obat luar yang sarat dengan racikan kimia. Kecuali kita kritis tetapi tidak ada dasarnya, kritis yang membenci, kritis yang subjektif, kritis yang tidak menawarkan solusi.”

Saya tidak pernah menulis dan menyampaikan kritik bertendensi kepada pribadi, golongan, apalagi SARA, murni melihat substansi dari sebuah fenomena dan persoalan. Mencoba membangun narasi berlandaskan data, fakta, memberikan masukan yang konstruktif dan menawarkan alternatif solusi.

Saya memahami sepenuhnya masih banyak pola pikir di ASN, jika kita memberikan masukan kepada sebuah kebijakan pemerintah dianggap mengkritisi, jika mengkritisi diangap keluar dari pakem etika birokrasi, kemudian ditakut takuti, sehingga banyak ASN yang gagap dan takut bersuara.

Saya katakan kepada teman yang menasehati saya tadi. Kita bukan lagi hidup di alam pembungkaman, kita sudah merdeka dan telah melalui zaman ketakutan itu, tetapi saya memahami hal itu, tiada lain bayang-bayang phobia orde baru yang masih tersisa.

Jikapun saya dibenci dan dimaki, saya sudah ikhlas dengan semua itu, sudah dua puluh empat tahun saya bertugas dan bekerja sebagai pegawai negeri dalam rumah birokrasi, tidak waktunya lagi saya mencari eksistensi atau mengaruk kepentingan pribadi, saya bekerja setiap hari melaksanakan kewajiban saya dan mencoba memberikan yang terbaik dimanapun saya berada, Alhamdulllah sampai saat ini saya masih dipercaya oleh pimpinan dimanapun berada.

Saya pun sadar dan mahfum sepenuhnya, pasti ada pikiran saya yang keliru, pikiran saya tidak berdasar, argumentasi yang lemah, data yang kurang akurat, namun disitulah kita saling membangun dialektika untuk saling terbuka, saling mengisi, mengoreksi dan berintrospeksi mencari solusi dan formulasi terbaik sumbangsih untuk Ibu Pertiwi.

Tabbik…

Read Full Post »

Foto : Pemandangan Alam Desa Pariangan, Dokpri

*** Tulisan ini bagian dari cerita tentang “Sebungkus Indomie Tak Sanggup Kubawa Pulang.”

—-

Februari 2004, detik-detik menunggu hari kelahiran anakku yang ketiga, terjadi gempa bumi beruntun di Sumatera Barat.

Pertama tanggal 16 Februari 2004, gempa bumi kuat dengan magnitudo 5,6 skala Richter, pusat gempa di Desa Pitalah Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar.

Getaran gempabumi ini dirasakan di sebagian besar daerah Sumatera Barat, kekuatannya hingga pada VI MMI (Modified Mercalli Intensity) yang menimbulkan korban meninggal dunia dan meluluhlantakkan ratusan bangunan rumah di Kabupaten Tanah Datar.

Enam hari kemudian, tepatnya pada 22 Februari 2004, gempa bumi yang lebih besar kembali mengguncang Sumatera Barat dengan magnitudo 6 skala Richter.

Gempa bumi ini mengakibatkan beberapa orang kembali meninggal dunia dan beberapa orang luka parah serta ratusan rumah rusak berat, termasuk di wilayah kecamatanku tempat bertugas.

Aku bertugas di Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat, tetangga dari Kecamatan Batipuh yang menjadi daerah pusat gempa. Saat itu aku diamanahi sebagai Sekretaris Kecamatan.

Kecamatan Pariangan menjadi tempat tersendiri dalam perjalanan tugas dan hidupku, lulus dari STPDN tahun 1998, tiga bulan setelah masa orientasi dan pembekalan di instansi Kabupaten aku langsung diberi amanah memegang jabatan Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Pariangan. Aku tinggal dirumah Bapak Syafran Tamsa orang kampungku, orangnya baik sekali, sekarang menjadi Wali Nagari IV Koto Mudiak di Batang Kapas.

Tidak beberapa bulan aku disini, kembali aku ditarik ke Kantor Bupati menjadi Ajudan Bupati yang saat itu dijabat oleh Alm. Bapak Masdar Saisa, kemudian diangkat sebagai Kasubag pada Bagian Tata Pemerintahan.

Tahun 2002 setelah kembali dari pendidikan di STIA LAN Jakarta, aku juga kembali ditempatkan di Kecamatan Pariangan, Camatnya Pak Novrianto CH kemudian digantikan oleh Pak Faisal A, aku kembali sebagai Kepala Seksi Pemerintahan kemudian Sekretaris Kecamatan sampai akhir tahun 2004. Saat itu Bupatinya Bapak Masriadi Martunus.

Seteleh itu aku kembali berpetualangan menuntut ilmu, joint research di Bappenas, ikut pelatihan bahasa Inggris dan bahasa Perancis di Jakarta, aku satu kelas dengan Mbak Siti Atikoh istrinya Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo, kami banyak ditraktir dan difasilitasi jalan jalan waktu itu. Aku bolak balik Jakarta-Batusangkar, semua ini tidak lepas dari semangat dan support Pak Masriadi.

Hanya Kecamatan Pariangan ini satu satunya tempat pengabdianku dilapangan selaku seorang abdi negara yang dilahirkan dan dididik dari sekolah Pamong Praja.

Diwilayah Kecamatanku ada Desa (sekarang Nagari) Pariangan. Desa yang penuh dengan historis asal usul nenek moyang orang Minangkabau. Desa yang ada kuburan panjangnya Tan Tejo Gurhano sang arsitek Rumah Gadang Minangkabau, Desa tempat asal usul adat yang dilekangkan oleh Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katamanggungan.

Desa yang ada sumber api abadi, selalu dijadikan pengambilan api obor setiap pelaksanaan event olahraga di Sumatera Barat. Desa yang airnya sangat segar dan hawanya sangat dingin, apalagi lekak lekuk pemandangannya yang bikin kita betah berlama lama disini sambil menyerumput secawan Aia Kopi Kawa Daun (minuman dari daun kopi yang dikeringkan).

Desa Pariangan, desa tempat aku pernah menyusuri gunung, tebing, lembah, sawah, sungai. Desa tempat aku pernah menanam cabe keriting untuk mencoba menambah biaya beli susu anakku. Desa yang disaat dinihari jam dua malam sepeda motor Sekcamku Suzuki TRS tak bisa lagi menanjak tanjakan sehingga aku harus meninggalkan motorku dikantor desa dan meminjam motor kepala jorong untuk pulang ke Batusangkar. Desa yang penduduknya amat ramah dan kritis, sering aku bercengkrama dengan mereka.

Banyak catatan hidup dan pengabdianku berserakan di desa ini, termasuk pernah bersama sama dengan Pemerintah Nagari Pariangan, tokoh masyarakat merintis pengembangan pariwisata di Nagari Pariangan, mendata dan memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk melestarikan Rumah Gadang yang ratusan tahun, pernah juga turun mensurvei bersama dosen ITB, merintis membangun homestay rumah masyarakat.

Menyusuri hutan dan lembah membangun jalan dan irigasi bantuan proyek P2D, keliling Mesjid dan Mushala untuk bersosialisasi, mengunjugi dan menjadi pembina upacara di sekolah-sekolah yang jauh diperkampungan.

Keluar masuk semak mendampingi operator seluler mencari lokasi pemasangan menara, mendampingi anggota dewan dalam kunjungan lapangannya, duduk dipematang sawah dan makan bersama petani dengan lahapnya, dan banyak lagi cerita asam manis yang tak bisa disebutkan.

Jika setiap ke desa Pariangan ini, ada sebuah ritual yang aku lakukan, biasanya aku selalu menyempatkan diri berhenti dipinggir jalan, disebuah gundukan tanah, kita bisa melihat pemandangan alam 360 derajat, kemudian menghisap sebatang rokok (dulu masih merokok sebagai wahana pendekatan dengan masyarakat).

Memandang sekeliling alam nan membentang, mata lepas begitu jauh menerawang, nuansa barisan gunung dan bukit yang berjenjang, sawah yang berteras tering memanjang, jalan yang meliuk, sepoian angin yang menyelir telinga, begitu indah melangsa, merasup kesanubari, tenang damai tiada terkata.

Beberapa tahun setelah aku bertugas dan tinggal di Jakarta, aku mendapat berita yang menggembirakan. Pariangan sebuah desa yang berada dikaki Gunung Merapi Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat menjadi viral sebagai desa terindah di dunia, aku senang dan bahagia bukan kepalang, saat ini terangkat namanya menjadi desa yang masuk dalam catatan traveller untuk dikunjungi.

Alhamdulillah Yaa Rabb…

Read Full Post »

IMG_6315

Oleh : Empi Muslion

Nadiem Makarim dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, banyak yang terkaget-kaget, ada yang menyambut dengan gembira dan penuh harapan, namun ada juga yang mengomentari penuh dengan keraguan, sinis dan anekdot ketidakpercayaan.  Tapi bagaimanapun kita harus mengakui Nadiem adalah salah satu simbol dan pelaku di era disrupsi zaman ini.

Begitupula saat Presiden Jokowi mengumumkan lima target kinerja kabinet periode 2019-2024, salah satunya mengenai penyederhanaan birokrasi yakni tentang penyederhanaan eselonisasi (eselon ini sebenarnya adalah idiom lama yang diganti istilahnya dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, saat ini ASN tidak lagi menggunakan idiom eselon tetapi menggunakan istilah jabatan ; jabatan tinggi, jabatan administrasi dan jabatan fungsional). Hal ini disambut dengan beragam pendapat terutama oleh kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan personifikasi dari birokrasi Indonesia itu sendiri.

Kondisi birokrasi Indonesia saat ini secara kuantitas jumlahnya untuk PNS Indonesia berjumlah 4.285.576 orang (data Kemenpan RB, 11 Juni 2019), ini belum termasuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dulu istilahnya Pegawai Honorer. Dari sekian juta PNS Indonesia tersebut, sekitar 10,76 % merupakan posisi jabatan struktural.

Membahas birokrasi Indonesia sepertinya tak pernah habisnya, mulai sejak zaman orde lama, orde baru, orde reformasi dan orde zaman ini, kita bak selalu memasuki lingkaran labirin yang tak bertepi. Ketika sudah menyisir lingkarannya, kita akan ditelan oleh fatamorgana yang seolah tak menemukan  pintu masuk dan pintu keluarnya, sama-sama membingungkan, tak tahu dari mana harus mengurai benang kusutnya, birokrasi seolah menjadi momok dalam setiap pemerintahan, dia selalu dikambinghitamkan tetapi juga dimanfaatkan.

Namun secara fakta dan realita birokrasi itu akan selalu ada, akan selalu dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan, birokrasi eksistensinya akan selalu hadir selagi negara itu tetap berdiri. Karena tak bisa dipungkiri, sejarah birokrasi tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan negara bangsa (Nation State) itu sendiri.

Tidaklah salah apa yang ditesiskan oleh Weber  yang mengungkapkan tidak ada gunanya untuk mencoba menghapuskan birokrasi, karena itu hanya bisa dilakukan dengan bantuan sebuah organisasi lain, dimana kalau pun berhasil menang, organisasi ini juga nantinya akan terbirokratisasi dengan sendirinya. Bahkan seandainya pun kapitalisme bisa dihapuskan pada suatu saat nanti, itu tidak akan menghapuskan birokrasi.

Sama seperti pendapat Mosca yang bertentangan dengan pendapat Marx, Weber tidak percaya bahwa dalam sosialisme atau komunisme nanti birokrasi akan menjadi layu (wither away). Justru sebaliknya, birokrasi akan semakin kuat dan makin berkuasa.

Begitulah gambaran tentang sosok birokrasi, fenomena era disrupsi yang berlangsung disegala lini kehidupan juga tidak terhindari terjadi pada wajah birokrasi Indonesia. Dia akan selalu ada ber-evolusi, berinovasi dalam setiap zaman, mazhab dan isme apapun, tetapi bukan berarti birokrasi tidak bisa diatur dan ditata, disinilah ujian bangsa ini yang terus mencari jatidiri peradaban birokrasinya.  .

Wacana Penyederhanaan

Wacana pemangkasan jabatan dalam birokrasi bukanlah isu yang muncul mendadak saat ini, sebagaimana yang disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi. Diawal masa reformasi, isu ini sudah ramai dibicarakan, tak ayal banyak struktur eselon V yang ada di birokrasi Indonesia baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sudah banyak yang dipangkas, sebagian besar instansii pemerintah saat ini tidak adalagi mencantolkan eselon V dalam struktur organisasinya.

Saat ini kembali bergaung  wacana segar dari Presiden Jokowi dalam taget kerja 2019-2024, tentang penyederhanaan birokrasi, namun sebelum membahas lebih dalam, harus kita samakan dulu maqom tempat berpijak, antara terminologi ‘penyederhanaan birokrasi’ dan ‘penyederhanaan eselonisasi (jabatan).’ Menurut penulis ini adalah dua term yang sangat berbeda makna, substansi dan implementasinya. Bahwasanya penyederhanaan jabatan hanya bagian kecil dari tugas besar dalam penyederhanaan birokrasi.

Sekarang pemerintah mau memfokuskan tentang apa, apakah sebatas penyederhanaan jabatan atau benar-benar ingin menata birokrasi secara komprehensif dengan melakukan penyederhanaan birokrasi. Kalau hanya untuk penyederhanaan jabatan tidak perlu menunggu waktu lama, enam bulan ini pasti selesai, tapi apakah itu yang kita maksud dan kita tuju ?

Mereformasi birokrasi secara parsial sebatas pangkas memangkas sruktur, memang tidak akan sulit, tinggal merevisi peraturan perundang-undangan dan membuat aturan baru, dengan membuat tingkatan jabatan hanya ada dua tingkat, itu sangat mudah dan sah-sah saja, namun apakah itu akan membuat birokrasi lebih profesional, lebih adaptif, lebih  maju, lebih dinamis, lebih ramah ke dunia usaha dan sebagainya, saya rasa belum solusi yang komprehensif.

Namun jika dilihat dari dinamika yang terjadi, adanya penambahan kursi wakil menteri dan dibukanya penerimaan CPNS pada waktu yang bersamaan dengan wacana penyederhanaan birokrasi, bak pemandangan yang kontradiktif. Pemerintah sepertinya memang hanya memfokuskan pada penyederhanaan jabatan (eselonisasi). Jika ini yang dituju, penulis yakin kondisi birokrasi Indonesia tidak akan banyak berubah, hanya bertukar nuansanya saja, akar penyakit permasalahannya tetap belum teramputasi dan direformasi.

Pemangkasan Jabatan

Penulis setuju pemangkasan jabatan dalam birokrasi dilakukan, tetapi harus ada frame work, peta jalan, skema dan solusi kongrit yang disiapkan, sehingga transisi perubahan reformasi birokrasi berjalan secara terarah dan tertata secara seksama, bukan malah nanti memunculkan permasalahan baru, yang akhirnya energi bangsa ini habis untuk saling bongkar pasang aturan, uji coba tambal sulam, sehingga tujuan dan sasaran utama yang diinginkan dari birokrasi Indonesia tidak pernah terwujud.

Soal bongkar pasang kebijakan dalam mereformasi birokrasi sudah acapkali terjadi, banyak sekali contoh kongrit yang harus kita jadikan pelajaran. Pascra reformasi, banyak sekali kebijakan yang positif di zaman orde baru yang dengan emosional kita rubah, seperti pola perencanaan pembangunan nasional, yang mana GBHN pada zaman orde baru merupakan kebijakan dasar dalam perencanaan negara ditiadakan, diganti dengan perencanaan yang eksekutif minded dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sekarang GBHN malah ingin dihidupkan kembali. Dulu Penataran P4 dibubarkan sekarang dihidupkan lagi dengan sosialisasi 4 Pilar melalui MPR dan adanya lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Diawal era reformasi, birokrasi Indonesia langsung merubah pakaian Korpri dari model lama ke rancangan baru, namun akhirnya baju Korpri rancangan orde baru juga kembali yang dipakai saat ini.

Kita mahfum ada kekurangan dan kelemahan dalam kebijakan tersebut, kebanyakan bukan kebijakan yang salah, tetapi lembaga dan kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa saat itu. Karena itu kita harus arif dan jernih melihatnya, jika mau merubah janganlah mengendepankan subjektifitas, emosional, selera atau akomodasi kepentingan, harus dalam kerangka yang ilmiah, rasional dan objektif, sehingga apapun yang dilakukan perubahan harus menjangkau jauh kedepan dan substansinya betul-betul membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi kemajuan bangsa dan negara.

Penyederhanaan Birokrasi

Untuk mereformasi birokrasi melalui penyederhanaan birokrasi, sebenarnya bukan hanya pada sisi pemangkasan struktur jabatan, banyak elemen lainnya yang mempengaruhi wajah dan performa birokrasi Indonesia. Penyederhanaan birokasi, jangan semata-mata dimaknai hanya menyederhanakan jabatan dalam birokrasi, itu hanya bagian kecil dari reformasi birokrasi, silahkan jabatan birokrasi di lakukan pemangkasan, namun harus diikuti dengan reformasi penataan sistem birokrasi lainnya secara komprehensif, terukur dan teruji validitasnya, seperti ; budaya birokrasi Indonesia yang masih belum hilang dari budaya patronase dan feodalistik, peningkatan kualitas SDM birokrasi, sistem dan management kepegawaian birokrasi, rekrutmen pegawai baru baik CPNS maupun P3K yang memperhatikan aspek kebutuhan dan keunggulan dan system yang fairness dan terbuka, penggajian dan remunerasi yang adil, berimbang dan mensejahterakan, aspek penguasaan tekhnologi informasi, menjauhi politisasi birokrasi, dan sebagainya.

Yang tak kalah pentingnya juga untuk  diperhatikan dalam pemangkasan struktur jabatan birokrasi ini adalah, pemangkasan yang dilakukan jangan sampai menumbuhkan cabang-cabang jabatan di unit birokrasi baru, katakanlah nanti akan memperkuat performa jabatan fungsional, namun jangan sampai jabatan fungsional justru memunculkan atmosfir dan nuansa kekuasaan seperti dalam jabatan struktural. Walaupun tidak terformalisasi dalam bentuk struktur tetapi hakikat dan keberadaannya tersublimasi sama aromanya sepertii dengan struktur dan kultur yang dipangkas dalam jabatan struktural tadi.

Perlu diingat penyakit birokrasi yang terbesar adalah, selalu memiliki nafsu untuk menggemukkan struktur dan melanggengkan kulturnya (gigantisme birokrasi).

Begitupun untuk jabatan dua tingkat yang tetap dipertahankan, jangan sampai jabatan tersebut diisi dan dihuni oleh orang yang itu-itu saja sehingga tidak terjadi regenerasi, tidak terjadi penyegaran organisasi, inovasi yang mandek dan melanggengkan status quo baru dalam birokrasi Indonesia.

Harus ada batasan, misalnya jabatan tersebut hanya berlangsung selama dua tahun, kemudian pejabat tersebut juga kembali menjadi pegawai jabatan fungsional, ada rotasi yang terus bergulir secara dinamis, sehingga ada kesetaraan, keadilan bagi seluruh pegawai birokrasi, semua mempunyai kesempatan dan peluang yang sama dalam birokrasi, jabatan hanya sebuah implementasi dari kompetensi dan profesionalitas yang dimiliki oleh ASN, semua harus matang dipikirkan.

***

Kembali kepada kehadiran Nadiem Makarim dalam tubuh birokrasi Indonesia, yang mana Nadiem murni belum tersentuh pada struktur dan kultur birokrasi Indonesia sebelum ini. Adalah sangat tepat untuk kita nantikan bersama bagaimana kiprah, terobosan dan ide-ide briliannya dalam membangun kualitas dan keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang maju dan berperadaban.

Sama-sama kita tunggu, semoga ada gebrakan besar yang fundamental merubah wajah birokrasi Indonesia terutama dari wajah birokrasi Kemendikbud yang mana Kemendikbud adalah birokrasi yang cukup besar di Indonesia, tugasnya pun amat besar dan mulia untuk mecerahkan peradaban anak bangsa, dan selama ini Kemendikbud belum pernah lepas dari kategori birokrasi yang selalu memunculkan berita korupsi yang tidak mengenakkan. Kita berdoa agar Nadiem terhindar dari kipasan para birokrat yang menenangkan dan meninabobokan.

Jika nantinya wajah Kemendikbud dan peningkatan SDM anak negeri masih jalan ditempat, belum sekencang jalannya investasi Gojek yang merambah pasar regional, maka jangan terkaget-kaget dengan birokrasi Indonesia, cukup kaget dengan Nadiemnya saja. Tentu harapan kita, semoga mampu meyaksikan kekagetan yang sumringah. Nadiem, kualitas dan keunggulan SDM anak bangsa serta Birokrasi Kemendikbud dan birokrasi Indonesia umumnya mampu berselancar dalam revolusi industri 4.0 dan era society 5.0.

Semoga disrupsi yang juga berlangsung pada tubuh birokrasi Indonesia mampu tertangani dengan baik.

Read Full Post »

Film “Bumi Manusia” Tersandera Sosok Dilan

By : Empi Muslion

“Seorang terpelajar harus belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”

Yaa kalimat itulah, penggalan percakapan antara Minke dan Jean Marais dalam novel karya legendaris anak dunia yang pernah ada, bernama Pramoedya Ananta Toer, dan juga ada tergambarkan dengan baik dalam film dengan judul yang sama dengan novelnya “Bumi Manusia”.

Persis kalimat itu jugalah yang tidak pernah saya lupakan, sejak membaca novel itu pertama kali, lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan sudah saya baca berulang kali, terakhir saya membacanya barengan dengan putri sulung saya Futy, empat tahun yang lalu, saat dia duduk dikelas 1 SMA, yang mana Futy anak saya juga terkesan, terkesima dan berkaca kaca matanya setelah membaca novel itu.

Dia menjadi penasaran dengan sosok Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Terkesima dengan latar cerita yang penuh dengan deru kereta kuda, terpaku dengan situasi zaman anak pribumi di peradaban yang masih lugu dengan ilmu pengetahuan, geram dan kesal dengan situasi era kolonial dengan tindak tanduk berbagai polah manusia dengan segudang sketsa peradabannya, yang sarat dengan intrik, konflik, kemunafikan, feodalisme, perbudakan, penjajahan, dendam kesumat, kebodohan, dan perilaku bar-barian terkutuk lainnya, ditengah mendewakan era modernisme.

Syahdan, disisi lain alur cerita diolah oleh Pak Pram dengan apiknya, berkulindan dalam balutan nilai-nilai universal kemanusiaan, nan sarat dengan pesan moral dan nilai-nilai luhur humanisme melintas batas, jarak dan waktu, yang tergambar indah dalam bahasa yang seolah kita berada didalamnya untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, kebahagiaan, keberanian, rasa kasih, arti cinta dan nilai-nilai abadi keagungan lainnya selaku manusia dimuka bumi yang diberi akal dan budi.

Novel ini bukan lagi milik bangsa Indonesia, pribumi, ras Jawa ataupun Londo. Novel ini milik anak seluruh bangsa dunia, seluruh ummat manusia dimuka bumi. Membaca novel ini, walau bersetting di zaman kolonial dan ditanah Jawa, namun Pak Pram tidak terjebak dalam unsur subjektifitas kepicikan apakah itu ideologi, demografi, rasial, kultural, spiritual, maupun isme lainnya.

Novel ini menerabas luruh dalam sekat-sekat dan kelas-kelas semu kemanusiaan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dalam mengangkat eksistensi keegoan individualismenya, menciptakan segmentasi dan diskrimasi kemanusiaan demi memperjuangkan nafsu keserakahan hidup dimuka bumi.
Novel ini juga tidaklah semata mengungkapkan tentang kejahatan para penjajah, dan terbelenggu dalam nasionalisme sempit, ini adalah tentang kemanusiaan.

Karena juga ada diceritakan dengan seimbang, orang-orang Eropa (Belanda) yang memiliki simpati dan nurani terhadap daerah jajahannya seperti ; Herbert de la Croix, Asisten Residen Kota Bojonegoro, adalah orang Eropa totok, namun tidak berwatak kolonial. Ia justru merasa iba melihat Hindia Belanda dan Jawa khususnya yang sudah demikian dalam kejatuhannya. Ia menaruh perhatian besar pada pribumi terpelajar dan berharap kaum ini bisa menjadi perintis untuk kemajuan bangsa Hindia Belanda.

Diangkat ke Layar Lebar

Sejak adanya berita novel ini akan diangkat kelayar lebar, oleh anak bangsa pribumi sendiri, saya sangat gembira disamping ada rasa was-was, sebagai informasi tambahan, novel ini sejak lama sudah banyak penulis, sineas dan sutradara asing yang ingin mengangkatnya kelayar lebar, karena memang novel ini sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa asing, dan sang penulis beserta karyanya menjadi topik diskusi dan perbincangan di altar-altar kampus, pojok-pojok sastra, beranda politik dan ruang publik maupun di jalan-jalan pergerakan.

Sampai saat ini baru Pak Pram anak pribumi yang masuk dalam nominasi peraih nobel sastra, walau itu tidak menjadi tujuan dan cita-citanya. Pak pram dengan jiwa idealisme dan nasionalismenya, tidak pernah mau bergeming dan bersekutu dengan rayuan dollar yang akan masuk ke kantongnya, walau hidupnya penuh dengan kemiskinan dan kemelaratan.

Menjelang film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini tayang, saya sudah menunggu-nunggu apakah gerangan syaraf-syaraf adrenalin saya yang membuncah saat membaca cerita di novelnya akankah bisa terwakili dengan baik dengan sosok karakter tokoh, alur cerita, setting tempat, penggalan quotes kata -kata indah yang penuh filosofis sarat makna, dan nilai-nilai universal humanisme berbalut dengan intrik dan konflik kemanusiaan, apakah bisa tergambarkan.

Sontak, hari ini walaupun jadwal dikantor saya sangat padat, saya tidak sabar lagi pergi ke bioskop untuk menontonnya, saya tidak fokus dan konsentrasi lagi di kantor. Menunggu hari jumat yang agak longgar waktu bekerja rasanya lama sekali. Saya bisa saja pergi menonton sendiri atau dengan istri dan anak saya dimalam hari, seperti yang sering saya lakukan saat menonton film-film superhero Amerika.

Entah mengapa, pagi ini saya begitu semangat dan antusias untuk menonton pergi bersama-sama teman saya dikantor, saya merasa film ini bukan sekedar film hiburan atau film edukasi tematik semata, saya merasa film ini harus dan wajib ditonton oleh seluruh ummat manusia apalagi orang Indonesia, terlepas apakah nanti filmya sesuai dengan ekspetasi sebagaimana isi dan alur cerita dalam novelnya.

Nasionalisme dan patriotisme saya serasa bergelora, saya serasa ikut dalam suasana isi cerita novel Pak Pram tentang haru biru zaman penjajahan dan problema anak pribumi memperjuangkan harkatnya yang terlindas dan tertindas, serta ikut suasana kehidupan Pak Pram sendiri, dari penjara ke penjara, dari hukuman dan cercaan, namun semangat nasionalisme dan rasionalitasnya tak pernah padam, tak pernah dendam.

Saya bergumam, kita yang hidup di alam kemerdekaan, kebebasan, dan kesetaraan, menikmati kecanggihan zaman hasil peluh, darah dan taruhan nyawa para syuhada pejuang tanah air, hanya untuk meluangkan waktu menonton heroisme nilai-nilai universal kemanusiaan, tidakkah bisa ?

Jika saya kepala daerah akan saya gratiskan warga saya untuk menontonnya, jika saya menteri akan saya perintahkan seluruh pegawai saya untuk berbondong-bondong ke gedung bioskop, begitulah kira-kira gelora jiwa dan apresiasi hati saya akan novel dan film ini.

Tentunya, disamping memang saya sudah lama terkesima, hati dan jiwa saya tertawan dengan novel ini. Ini bukan lagi soal novel ataupun film, ini adalah soal bumi dan manusianya itu sendiri.

Maka pagi hari sesampai dikantor, saya kumpulkanlah teman-teman yang satu divisi dengan saya, saya tanya apakah sudah tahu dan pernah membaca novel Bumi Manusia, rata-rata tahu dengan Pramoedya Ananta Toer namun sebagian besar belum pernah membaca novelnya.

Namun bahagianya saya, semua senang diajak pergi menonton, maka saya wajibkan semua harus ikut pergi ke bioskop untuk menonton film Bumi Manusia. Hanya dua orang yang tidak bisa pergi, Fajri tidak masuk kantor karena sakit dan Ramdhan karena bertepatan waktunya menjemput anaknya dari sekolah.

Septi dengan cekatan mencari di gadgetnya bioskop dan kursi yang akan dipesan, setelah di searching maka dapatlah lokasi bioskop yang dekat dari kantor kami FX Senayan, dengan waktu tayang yang pas pukul 13.15 WIB. Kami berangkat dari kantor pukul 11.00 WIB, dengan empat mobil minibus.

Sesampai di FX didahului makan siang bersama, shalat Zduhur bagi yang muslim, dan selanjutnya meluncur ke teater dua CGV, saya terlebih dahulu singgah ke toilet agar nanti menontonnya bisa fokus menelaah satu persatu kata-kata yang akan diucapkan sang aktor dan menikmati alur cerita dan setting lokasinya. Karena kami menonton di waktu siang, maka seperempat kursi bioskop hanya penuh oleh rombongan kami.

Tibalah duduk manis dengan dada dag dig dug di kursi bioskop, film segera diputar, setelah didahului dengan iklan dan trailer film-film yang akan ditayangkan. Dalam hal ini, menceritakan sedikit pendapat saya tentang film ini, semata adalah murni persepsi saya dengan segala objektifitas dan subjektifitasnya, tentu bagus menurut saya belum tentu bagus menurut yang lain, kurang menurut saya bisa jadi bagus menurut yang lain, ini bukanlah penilaian, karena saya tak sanggup untuk menilai novel bumi manusia ini, ini hanya semata berbagi cerita dari asa dan rasa setelah membaca novel dan menonton filmya.

Menurut saya secara keseluruhan film ini dikemas sangat baik, sudah mendekati sebagaimana isi cerita novelnya, namun memang ada sedikit sisi yang saya anggap agak gagap, yakni di prolog film menurut saya dibuka dengan sentuhan yang kurang soft, ibarat malam pertama pengantin muda, langsung mengarah ke eksekusi, tanpa ada basa basi dan cengkrama cantik terlebih dahulu, untuk membuat suasana syahdu walau penuh dengan debar debur rasa di disanu bari, namun sedikit terobati dan tertutupi dengan pembukaan iringan gema getar suara lagu Iwan Fals.

Masuk ke sesi cerita selanjutnya, saat Minke diajak oleh Robert Suurhof kerumah temannya Robert Mellema dengan tujuan untuk memalukan Minke didepan gadis eropa Annelies adiknya Robert Mellema, namun hal yang didapatkan Suurhof hal sebaliknya, Minke dan Annelies menjadi pertemuan dua manusia yang merasa satu jiwa, satu hati dan satu pergulatan batin dipertemukan dalam jalan yang tak diniatkan.

Minke anak bupati di Surabaya yang mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah eropa, bertemu dengan sosok Nyai Ontosoroh, Ibunda Annelies dari ayah seorang londo bernama Herman Mellema. Nyai Ontosoroh menjadi sosok penuh misteri dan pertanyaan besar dipikiran dan sanubari Minke, sosok yang sangat berkarekter, bersahaja, cerdas, berani, lugas, simpatik dan humanis, seorang wanita pribumi, yang selama ini hanya di identikkan dengan gundik dan dirasakannya mustahil ada sosok tersebut di bumi nusantara.

Dari sinilah film ini mulai memuntahkan semburan-semburan perasaan campur aduk penontonnya antara rasa sedih, rasa pilu, rasa benci, rasa iba, rasa patriotik, rasa bangga, rasa cinta, semuanya berlumuran dalam campur baur rasa kemanusiaan.

Ditambah lagi potongan-potongan gambar alam tempo doeloe, hamparan sawah yang menghijau, pohon kelapa yang melambai-lambai, jalan yang masih bertanah, danau yang jernih, duduk sejoli di tepian yang sepi , lokomotif dengan kepulan asap batubaranya, bangunan klasik dengan desain art deco nya, blangkon dan topi cowboy, kereta kuda klasik yang ditarik oleh kusir madura, keraton, rumah bordil dan hamparan Boerderij Buitenzorg perusahaan pertanian yang dimiliki Tuan Mellema dan Nyai Ontosoroh, sangat apik dikemas oleh Hanung Bramantyo.

Dari sini saya sudah hanyut dalam isi cerita, dan gambar gambar epic yang disajikan. Saya mungkin tidak bisa megulas babak demi babak dalam film ini, seperti saya katakan diatas, secara umum film ini menurut saya sangat baik, mampu mengocok dan mengaduk perasaan para penontonnya, karena setelah film usai saya tanya satu persatu teman saya, semuanya menjawab meneteskan air mata, artinya film ini dapat singgah dihati anak manusia.

Tersandera Sosok Dilan

Namun, ada satu yang mengganjal saya sejak awal scen film ini ditayangkan, adalah tokoh Minke yang diperankan oleh sosok Iqbal Ramadhan. Tanpa mengurangi peran akting Iqbal dalam film ini.

Saya merasakan keseriusan, kesyahduan dan kefokusan dalam menikmati film ini sangat terganggu dengan sosok Iqbal, apa yang membuat saya terganggu ?

Sejak awal film, yang mana langsung disuguhkan dengan sosok Minke yang diperankan oleh Iqbal, persepsi saya tentang film ini langsung dihadapkan dengan bayang-bayang Iqbal sebagai Dilan didalam film Dilan, saya merasakan sosok Minke dalam novel yang ingin saya saksikan menjadi buyar.

Karena sosok Iqbal memerankan Minke tidak jauh berbeda sama sekali dengan sosok Dilan, hanya sedikit dirubah dengan kumis klimisnya, selainnya, semuanya hampir sama dengan sosok Dilan, apakah itu wajah, rambut, cara bicara, apalagi pola dia merayu Annelis dengan kalimat-kalimat pendek yang itu adalah Dilan banget, sosok Minke yang saya harapkan menjadi panutan dan idola baru anak-anak negeri serasa hilang melayang.

Saya mencoba menganalisis, apakah ini perasaan saya saja atau bagaimana, saya tanyakan pada teman-teman, yang sudah menonton film Dilan serta yang belum menonton Dilan, ternyata yang pernah menonton film Dilan jawabannya hampir semuanya sama dengan yang saya rasakan.

Tapi saya juga tidak bisa menyesal, ini terjadi karena saya terlanjur sudah menonton film Dilan untuk kedua serinya. Mungkin bagi yang belum pernah menonton film Dilan, saya pikir persepsinya pasti berbeda, peran Minke yang diperankan oleh Iqbal bisa jadi akan mendapatkan standing apresiasi.

Disamping terganggu oleh sosok sang Dilan, saya juga merasakan karakter Minke dalam novel kurang terpaparkan dan tersuguhkan dengan baik oleh sosok Minke yang diperankan oleh Iqbal dalam film ini.

Minke yang dalam novelnya memang diceritakan berusia delapan belas tahun, namun sosoknya sangat dewasa, tegas, karakter kuat dengan jiwa petualang dan pemberontakannya, cerdas dalam menulis, kekuatannya dalam novel salah satunya adalah lewat tulisan-tulisannya yang bernas dan pembawaanya yang lugas.

Namun saya merasa ini kurang dapat oleh sosok Iqbal dan perannya dalam menulis, Iqbal menurut saya masih susah menghilangkan anak kekiniannya dalam film ini, anak metropolis dengan wajah bersih dan klimis, suara melankolis, sehingga susah buat saya untuk ikut dalam semangat kritisnya.

Iqbal masih kuat sosok kekanak-kanakan dan keremajaan milenialnya. Karena kematangan usia delapan belas tahun orang zaman dahulu sangat berbeda dengan anak delapan belas tahun saat ini, umur sekian orang dulu, kata orang tua saya sudah punya anak tiga.. hehehe…
Ini mungkin menurut saya kecolongan Hanung dalam mencari peran Minke yang adalah sosok sentral dalam novel ini.

Saya coba menerawang dan mengajukan pertanyaan, kenapa Iqbal yang dipilih Hanung untuk sosok Minke dalam film ini ?, tentu Hanung punya pertimbangan tersendiri.

Namun saya coba menimbang-nimbang, berspekulasi, kemungkinan Hanung memilih sosok Iqbal adalah karena faktor kesuksesannya di film Dilan, sehingga berharap akan bisa menyedot penonton untuk berbondong-bondong kembali datang ke bioskop, memperhatikan sisi marketingnya.

Menurut saya jika ini benar salah satu alasannya, saya berharap ini salah, ini adalah pertimbangan yang amat keliru ditengah idealisme novel ini.

Saya menilai, novel ini akan ditonton orang bukan karena Iqbalnya, tetapi karena isi dan substansi ceritanya, tentu peran tokoh juga adalah penting, karena itulah serasa ada yang nyesak didada saya, saya tetap merasa Iqbal kurang cocok untuk sosok Minke di film ini.

Alangkah lebih baik sebelumnya, segenap tim film ini melakukan audisi untuk menjaring sosok Minke yang pas (ini tentu pas dalam bayangan dan persepsi saya pribadi), dan saya berkhayal dan berharap sebelumnya, sosok itu adalah sosok baru didunia perfileman Indonesia dan tumbuh besar namanya menjadi Minke, seperti Iqbal yang sudah susah dihilangkan dengan sosok Dilan-nya.

Bagaimana dengan Sosok Nyai Ontosoroh yang diperankan oleh Sha Ine Febrianti, Annelies yang diperankan oleh Mawar Eva De Jongh serta Darsam.

Untuk ketiga orang ini saya merasa seperti membaca novel aslinya, empat jempol untuk mereka. Saya tak bisa berkata, karena cerita di novelnya seakan sudah bercerita dan hidup seperti aslinya dalam film ini.

Bagaimana dengan isi novel ? apakah sudah terpresentasikan dengan baik dalam sajian film ini, memang diakui banyak ruang-ruang yang belum terisi, ada lorong-lorong yang tertinggal, ada sisi-sisi yang belum terungkapkan, seperti nilai kehidupan dari dialog Jean Marais dengan Minke, sosok dilema Min Hwa di rumah bordil Babah Ah Tjong, dan tokoh serta lokasi lainnya.

Itu adalah sangat wajar, tidaklah mungkin menuangkan novel yang begitu panjang, begitu banyak tokohnya, begitu sarat filosofi dan nilai-nilai dirangkum dalam sebuah bingkai visual, dan itupun durasinya sudah sangat panjang selama tiga jam.

Sepertinya masih tidak cukup kata untuk membahas novel ini, akan selalu membuncahkan dan mengalirkan kata-kata sepanjang waktu dan arus, semasih manusia itu ada di muka bumi, karena ini bukan tentang apa dan siapa, ini adalah tentang kita, manusia dan bumi tempat kita berada sementara…

Karena itu saya cukupkan dulu sampai disini, sambil mencari angin meneguk secangkir kopi….

Selamat menonton dan melihat kedalam diri sendiri, bahwa kita juga adalah manusia….
……..

“Cerita,…., selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa dan hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia…. Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar peglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa sampai tuntas (kemput).”
-Pramoedya Ananta Toer-

Read Full Post »

 

Oleh : Empi Muslion

Selaku anak Minang, saya sangat bangga dan berterimakasih kepada jajaran Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, Pemkab, Pemko, DPRD, Perguruan Tinggi, Ormas, LSM, Media, LKAAM, Pelaku Usaha, Alim Ulama, Niniak Mamak, Cadiak Pandai, Pemuda dan segenap elemen masyarakat lainnya yang bahu membahu dan baiyo batido, kompak melakukan proteksi terhadap gempuran invasi jaringan ritel modern baik yang milik swasta dalam negeri seperti Indomart, Alfamart, Giant, Carrefour/Trans Mart dan sebagainya maupun berupa francaise dari luar negeri seperti 7 Eleven, Circle K, Lawson, Lotte dan sejenisnya.

Tentu regulasi pembatasan ini baik bagi kemajuan dan menjaga keberlangsungan UKM yang mayoritas menjadi andalan utama roda perekonomian masyarakat Sumatera Barat. Kita harus apresiasi hal tersebut.

Tentunya pembatasan ini tidak hanya sekedar membatasi masuknya jaringan gurita ritel semata, harus ada juga solusi yang inovatif, solutif dan bermanfaat dari Pemda untuk menstimulasi dan memfasilitasi masyarakat yang bergerak di sektor UKM ini, untuk mampu berdikari dan tampil pula gagah dan profesional seperti jaringan UKM yang tersohor tersebut. Pastinya, hal ini sudah dipikirkan oleh Pemda, sepatutnya diapresiasi pula.

Namun dalam beberapa hari belakangan ini, saya kebanjiran mendapat telepon dan cerita dari teman-teman di Ranah Minang, berdiskusi, dan bertukar pikiran, begitupun saya baca lewat berita online. Kiranya niat baik Pemda ini mulai melenceng dari marwah dan substansi semula, yang mana konsep awalnya Pemda hanya melibatkan BUMD daerah saja untuk menggerakkan sektor strategis kerakyatan dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak ini, namun dalam implementasinya setelah pengguntingan pita oleh Gubernur, dan pencanangan buka perdana warung modern yang bernama Minang Mart, masyarakat merasa ada yang ganjil, dimana Pemda melibatkan pihak ketiga pemilik modal yang terlibat dalam pengelolaan program ini.

Jika hal ini benar adanya, hal tersebut perlu didudukkan kembali, kita tentu tidak ingin, membatasi Harimau masuk tetapi membuatkan pagar untuk Singa merajalela. Poinnya bukanlah anti dengan ritel masuk ke Sumbar, intinya roda perekonomian masyarakat jangan sampai dikooptasi dan dimonopoli oleh kalangan pemilik modal, kuncinya disitu.

Hal terbaik dan harus dilakukan oleh Pemda adalah, memfasilitasi dan menyediakan modal yang dananya dari kerjasama pemda dengan BUMD. Program dan fasilitasi Pemda dapat dibuat ketentuannya sedemikian rupa dan seksama, sebagai contoh seperti pendataan dan mempetakan seluruh warung rakyat yang ada, kemudian membuat analisis, membuat standarisasi, membuat indeks, membuat kualifikasi, sehingga keluar warung mana yang terlebih dahulu dapat dibantu oleh Pemda, dan terus bergulir nantinya. Ketentuan ini dapat diakses dan dimengerti oleh masyarakat, sehingga nantinya dalam pengguliran program ini tidak terjadi kecemburuan dan swak sangka.

Fasilitasi pemda juga nantinya dapat berupa pendampingan tenaga professional dibidang pengelolaan warung atau ritel modern yang mandiri ini. Seperti manajemen pemasaran, manajemen keuangan, manajemen pengemasan, manajemen SDM personil/karyawan, manajemen hieginitas, manajemen interior dan sebagainya.

Dana untuk pendampingan fasilitasinya, pemda dapat menganggarkannya dalam APBD berupa dana pendampingan UKM atau apalah namanya sesuai nomenklatur formal penyusunan anggaran. Sedangkan dana untuk pinjaman modal usaha rakyat baru lewat BUMD.

Selanjutnya keberadaan BUMD pun tidak bisa mengelola langsung warung rakyat tersebut apalagi harus membangun sendiri. BUMD sebagai perpanjangan tangan pemda, hanya dalam bentuk fasilitasi dan penyediaan Modal untuk dipinjamkan kepada masyarakat dengan ketentuan tersendiri pula, seperti bunganya tidak boleh lebih dari bunga Bank konvensional, jangka waktu penyicilan, pengguliran hasil keuntungan, dan sebagainya yang dibuat dan diketahui publik secara transparan. Intinya membantu semaksimal mungkin dan sepenuhnya kemajuan usaha rakyat ini, jadi Pemda pendekatannya bukan keuntungan dalam bentuk finansial murni bagi BUMD, tetapi keuntungan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dari mana keuntungan BUMD ? tentu tidak fair juga jika BUMD tidak mendapatkan keuntungan, BUMD mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman yang diberikan kepada masyarakat, tetapi Bunga tidak seperti bunga Bang, bunga yang sekecil mungkin dan ditagihpun setelah kios masyarakat tersebut sudah berjalan normal. Pendapatan lainnya yang cukup besar jika BUMD kreatif dan lincah, BUMD bisa bekerjasama dengan distributor hulu secara langsung, BUMD bisa mengambil peran sebagai distributor tetapi harganya tetap tidak boleh melebihi harga distributor yang berlaku di pasaran. Disinilah peran Pemda seharusnya bisa menjembatani antara BUMD, Pemerintah Pusat, dan pihak Produsen hulu.

Jika BUMD yang terlibat langsung sebagai pemilik apalagi bekerjasama dengan pemilik modal besar, itu sama saja menjarah ekonomi rakyat sendiri, sama saja dengan shadow kapitalisme, pemerintah yang menghisap rakyatnya sendiri. Ini konsep yang sangat keliru. Pemda lewat BUMD berada pada aras perlindungan warga sebagaimana amanat UUD 1945, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

BUMD atau perusahaaan Negara bisa masuk dan terjun mengelola jika menyangkut usaha ekonomi yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat secara mandiri, perusahaan negara atau daerah harus berada pada pengelolaan sektor sektor strategis dan vital yang berhubungan dengan harkat dan kedaulatan negara dan daerah. Sektor UKM sangatlah naif jika itupun BUMD ikut bermain langsung sebagai operator, BUMD cukup sebagai penyandang dana, stimulasi dan fasilitasi saja. Jikapun BUMD katakanlah belum atau tidak punya modal, yaa jangan dipaksakan harus bekerjasama dengan pemilik modal besar, itu hanya akan meninggikan tempat jatuh kedaulatan dan kemandirian ekonomi masyarakat.

Untuk soal nama boleh saja homogen katakanlah untuk memperkuat brand, seperti Minang Mart, tetapi kepemilikan murni 100 persen milik masyarakat orang per orang atau berbentuk Koperasi yang bergerak disektor UKM tersebut. Sistemnya pun bukan bagi hasil, tetapi murni hasilnya bagi masyarakat, walau masyarakat mencicil pinjamannya kepada BUMD.

Jadi, bukan masyarakat yang diobjekkan, bukan BUMD yang langsung mengelola, bukan pemilik modal besar yang diajak bekerjasama, sekali lagi ini konsep yang menyimpang. Patokannya yang tidak bisa ditawar, masyarakat tetap sebagai subjek, pelaku dan pemilik murni usaha ini. Cuma difasilitasi dan didampingi oleh Pemerintah, dan memang itulah tugas Pemerintah.

Program ini, harus berupa usaha rakyat yang dikelola oleh rakyat tetapi bertransformasi menggunakan manajemen profesional yang dilindungi, dibantu, diarahkan dan difasilitasi oleh pemerintah, apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Salam kerakyatan dan Ranah Minang…

Read Full Post »

Adat

Memandang masyarakat adat, kita bak melakoni ceritera malin kundang anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Sebagaimana yang kita mahfumi dan ketahui bersama bahwasanya masyarakat adat telah berabad-abad ada di bumi nusantara, dia telah dulu ada sebagai masyarakat maupun organisasi yang dibentuk oleh nenek moyang kita mungkin walau dalam bentuk yang sederhana secara struktur tetapi secara filosofis dan hakikatnya jauh lebih besar dan bermartabat dibanding saat ini.

Jika kita renungi lebih khusyuk, sebenarnya kita semua anak bangsa yang hidup dibawah bendera Negara Indonesia adalah anak-anak adat yang bergelimang dosa, boleh dikatakan saat ini kita seluruh anak Indonesia sebagai seorang Malinkundang, anak yang durhaka terhadap orang tua dan moyangnya, karena memang orang tuanya secara ilmu pengetahuan modern jauh tertinggal dibanding sang anak yang telah melanglang buana keberbagai belahan dunia untuk mendapatkan pencerahan pengetahuan. Tetapi sayang akibat pengetahuan dan kekayaan materi yang dimiliki sang anak sehingga lupa mengembalikan harkat dan nilai-nilai luhur kehidupan yang dia tinggalkan ditanah leluhurnya. Dia lupa dia diizinkan merantau oleh orangtuanya tidak lain karena negerinya dijajah oleh bangsa asing yang memporakporandakan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang dibangun oleh moyangnya.

Namun sayang sang anak setelah mampu mengusir sang penjajah dan kembali ketanah luhurnya untuk menegakkan bendera yang bernama Indonesia lupa mengembalikan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang berlaku ditanah leluhurnya tersebut. Walau secara fisik dia mengutuk dan telah mampu mengusir sang penjajah tetapi ambigunya nilai-nilai yang ada pada sang penjajah juga dipraktekkannya kembali ketanah leluhurnya, sehingga sanak saudara kampung halamannya yang banyak terbelakang sama saja merasakan dalam alam penjajahan. Cuma sekarang dijajah oleh anak atau saudara sendiri.

Secara bernegara dan berbangsa Indonesia kita bersyukur sekali kita sudah bisa lepas dari penjajahan kolonial. Tetapi sesungguhnya dalam konteks negara Indonesia kita juga harus berterimakasih kepada sang penjajah, mungkin jika tidak ada penjajahan di bumi garis khatulistiwa ini mustahil kiranya ada negara Indonesia, sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia ada karena disebabkan oleh dua faktor yakni faktor munculnya semangat dan kesadaran oleh para pahlawan kusuma bangsa yang memompa semangat pergerakan kemerdekaan dan faktor merasa senasip sepenanggungan akibat penjajahan yang dilakukan oleh kolonial terhadap bumi leluhur. Bisa jadi jika tidak ada penjajahan tidak akan ada yang namanya Indonesia, yang ada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang berkembang dan menjelma menjadi republik atau negara-negara sendiri di kepulauan nusantara ini.

Namun sebagai kesatuan masyarakat adat yang dahulunya merupakan republik republik mini, kemerdekaan dan keberadaan Negara Indonesia dengan realita dan fakta kemelaratan dan kemiskinan yang terus mendera sampai saat ini, bisa jadi ini juga merupakan laknat dan mengutuk akan keberadaanya, karena sama saja keberadaan Negara Indonesia hanya perpanjangan dari penjajahan para kolonial. Cuma saja suasana bathin dan praktek penjajahannya tidak separah cara kolonial yang menghisap habis dan mengadu domba antar sesama.

Jika kolonial Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang yang pernah masuk ke nusantara, memang adalah orang dan bangsa asing dan tidak ada keterikatan secara batin dan genealogis sedikitpun, murni dirasakan sebuah penjajahan. Namun negara Indonesia saat ini yang menjajah adalah anak kandung sendiri, yang kita sendiri tidak tahu apakah ini faktor ketidaktahuan atau memang lupa terhadap asal usulnya sendiri, atau mental keserakahan, kemunafikan dan moral hazard sehingga bagi kesatuan masyarakat adat, secara hakiki sama saja lepas dari kandang buaya masuk ke kandang harimau.

Fakta sejarah telah mencatat dan menunjukkan betapa masyarakat adat, yang salah satu contoh organisasi pemerintahannya berupa desa selalu menjadi subordinasi, dikooptasi dan selalu menjadi objek penderita dari sang penguasa dan penjajah atau struktur supradesa yang lebih besar, kemerdekaan hakiki masyarakat desa dengan pemimpin dan komunitasnya dimanipulasi dan di jarah. Hal ini selalu berlanjut sejak zaman kerajaan, zaman kolonial, orde lama , orde baru dan berlangsung sampai era orde reformasi saat ini. Desa selalu menjadi lipstick, pemanis singgasana kekuasaan untuk selalu mempesonakan wajah kekuasaanya terhadap rakyat untuk diperjuangkan.

Fakta empirik ini dapat dilihat dalam Karya monumental Denys Lombard (1996) menggambarkan secara gamblang bagaimana kerajaan-kerajaan konsentris di zaman prakolonial melakukan penundukkan dan penaklukan terhadap Desa-desa di bumi Jawa, yang waktu itu masih disebut sima. Karya Frans Husken (1998) memberikan kisah berkelanjutan tentang kapitalisasi, eksploitasi dan diferensiasi sosial di Desa sejak masa kolonial. Karya Hans Antlov (1986), dengan tema “negara dalam Desa”, menggambarkan dengan jelas bagaimana sentralisme dan otoriarianisme negara bekerja di aras lokal. Karya Yando Zakaria, Abih Tandeh (2000), menunjukkan penghabisan dan penindasan negara terhadap masyarakat Desa di zaman Orde Baru. Sampai orde terkini saat ini dibahwa Presiden Joko Widodo, yang mana hal pengurusan dan pengaturan Desa secara struktur dinaikkan derajatnya kelevel sebuah kementerian yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, tetapi apakah secara substantif dan kualititatif akan menjadi solusi terbaik untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat yang ada di pedesaan ? Kita lihat bersama…

Foto : Alam nan asri, Dok.Pribadi.

Read Full Post »

Chairil anwar
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Hari ini 5 Oktober 2015, walau secara gradual dan seremonial tanggal ini setiap tahun selalu diperingati sebagai hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia (dulu diperingati dengan sebutan hari ABRI). Sesungguhnya secara hakikat hari ini bukan hanya sekedar hari ulang tahun TNI. Hari ini harusnya secara berbangsa dan bernegara, kita yang hidup dan bernafas di bumi Indonesia, hari ini adalah hari anak bangsa Indonesia semuanya, menikmati kebebasan udara merdeka dari perjuangan para syuhada kusuma bangsa.
Jika kita buka buku sejarah, kita baca lembar perlembar bagaimana dahulunya para pahlawan bangsa ini mengusir penjajahan dari muka bumi, saat itu tidak ada yang namanya tentara, polisi, birokrat, politisi, pengusaha, selebriti, wartawan, petani, nelayan atau apapun namanya. Dahulu pahlawan kusuma bangsa tidak ada yang tersegmentasi oleh profesi ataupun ideologi apapun, mereka bergerak dari segala unsur, mengangkat bambu runcing, rencong, keris, pedang dan belati dengan satu tujuan bagaimana tanah nan kaya raya ini menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya anak cucu mereka lepas dari intimidasi dan cengkraman bangsa asing.
Kita baca bagaimana zaman kolonial Belanda dengan kerja rodi, tanam paksa, dan politik adu domba devide et impera, bagaimana kejamnya Jepang dengan romusha dan jugun ianfunya. Bagaimana anak negeri ini dieksploitasi tenaga dan tubuhnya membangun infrastruktur untuk keperluan penjajah, ada yang dirantai kakinya, ada yang tubuhnya tinggal tulang-belulang dan banyak yang mati ditengah kejamnya bangsa penjajah.
Kini 70 tahun sudah berlalu, masa kelam itu sudah tinggal catatan sejarah, kita hidup dari tanah yang penuh cucuran darah yang diperjuangkan oleh nenek kakek moyang pendahulu kita. Hari ini 5 Oktober yang diperingati sebagai hari Tentara Nasional Indonesia. Selayaknyan kita bertafakur, berdoa dan berintrospeksi diri, sudah sejauhmana kita dapat menghormati, menghargai dan berbuat yang terbaik bagi Ibu pertiwi.
Marilah kita bersama bergandeng tangan, buang jauh keserakahan untuk kepentingan pribadi dan golongan, apalagi untuk kepentingan kekuasaan. Marilah kita bersama membangun negeri berlandaskan ketauladanan, kearifan, kenegarawanan demi tanah perjuangan dan titipan pahlawan kusuma bangsa.
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
(Penggalan Puisi Chairil Anwar “Kerawang dan Bekasi”)
Foto : Dok.Pribadi

Read Full Post »

gedung mpr

Dalam beberapa bulan belakangan ini, bangsa Indonesia disibukkan dengan bencana kebakaran hutan dan polusi udara berupa asap yang sangat tebal, yang terjadi di dua pulau terbesar Indonesia, Sumatera dan Kalimantan. Dampak polusi udara tidak hanya membawa bencana bagi Indonesia tetapi juga merambat kenegara tetangga terutama Singapura dan Malaysia. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada tahun ini saja, tetapi sudah seperti menjadi agenda rutin yang setiap tahun selalu berulang.

Bencana kebakaran hutan dan polusi udara ini dalam konteks sosio-politik, merupakan bencana lintas kawasan dan lintas daerah. Selayaknya penanganan bencana ini juga ditanggulangi secara lintas sektor dan lintas lembaga baik pusat maupun daerah.
Dalam konteks institusi penanganan bencana ini, karena sudah terjadi antar propinsi dan bahkan sudah antar negara. Penulis ingin mengaitkannya dengan keberadaan lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Sepatutnya DPD RI ikut berperan serta dan mengambil inisiatif konstruktif dan ikut bersama sama dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan bahkan sewajarnya melakukan komunikasi dan aliansi solutif dengan negara tetangga, karena domainnya juga berkaitan dengan bencana antar daerah perbatasan.

Peran serta DPD RI memiliki landasan juridis yang sangat kuat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi, dimana DPD RI memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam ranah otonomi daerah (otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama).

Disamping itu yang tak kalah pentingnya DPD RI juga memiliki fungsi sosio-representatif dalam kerangka perwakilan daerah (pasal 248 ayat 2 UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang berbunyi “fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah”).

Dalam mengimplementasikan dan mengkongritkan peran serta dan tanggungjawab DPD RI sebagai lembaga representasi daerah dalam menanggulangi bencana kebakaran hutan dan asap ini, dapat saja dikerjakan dalam bentuk membuat tim ad-hoc DPD RI, bisa berbentuk task force bencana, seperti Tim Kerja DPD RI yang sudah familiar dalam pelaksanaan tugas DPD RI selama ini.

Sehingga penanganan bencana kebakaran hutan dan asap ini tidak sebatas seremonial formalitas semata, meninjau kelapangan sambil membawa ucapan simpati, setelah itu tetap saja yang kalang kabut menanggulangi bencana ini pada jajaran Pemda, TNI dan Polri serta segenap masyarakat daerah yang menanggulangi bencana ditengah galaunya mereka menikmati asap yang masuk kerongga dada.

Task force bencana DPD RI bisa saja dibentuk lintas personil dari berbagai lembaga/unsur yang memiliki kompetensi, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga non-pemerintah atau unsur profesional. Tugas dan kerja task force bencana ini bisa saja dirumuskan secara tekhnis, seperti bertugas mengerakkan kekuatan dan bantuan semua propinsi di Indonesia untuk membantu penanggulangan bencana hutan dan polusi asap.

Melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terkena bencana dan membantu masyarakat daerah keluar dari kesulitan akibat bencana. Melakukan investigasi bersama pemerintah dan menuntut kalangan korporasi yang terbukti bersalah untuk bertanggungjawab dan mengganti kerugian masyarakat daerah akibat bencana.

Selain itu yang tak kalah penting, meminta segenap perusahaan yang ada di Indonesia yang selama ini telah menikmati empuknya sumber daya alam masyarakat daerah yang telah mereka nikmati kekayaannya atas eksploitasi dan ekplorasi yang telah mereka lakukan, untuk ikut bersama-sama membantu penanggulangan bencana kebakaran hutan ini, baik berupa bantuan materi, personil, peralatan, tekhnis maupun edukatif.

Disamping itu, peran DPD RI juga bisa melakukan koordinasi dan diplomasi dengan negara tetangga dilingkungan ASEAN untuk memberikan pengertian sekaligus meminta bersama-sama menanggulangi bencana ini.

Tentu task force bencana ini betul-betul dilakukan secara serius, terkoordinasi dan terintegrasi secara sistematis dan dikerjakan secara komprehensif sampai bencana betul-betul dapat tertanggulangi dengan cepat dan tuntas, kemudian dilanjutkan dengan investigasi dan membuat peta jalan asap untuk antisipasi dimasa mendatang.

Semoga…

Read Full Post »

gedung mpr

Oleh : Empi Muslion

Hari ini 1 Oktober 2015 yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, dalam sejarah ketatanegaraan kita terutama dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia, pasca era reformasi juga memiliki catatan sejarah tersendiri, yakni lahirnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang hari ini genap 11 tahun usianya. Bertepatan dengan 11 tahun DPD RI, penulis ingin memberikan secuil catatan tersendiri sebagai kado terindah dalam merefleksikan makna keberadaan DPD RI.

Banyak hal sebenarnya yang dapat dicatat sebagai sebuah kaleidoskop perjalanan lembaga ini. Baik eksistensi dan perjuangannya dalam menentukan jenis kelamin dan makna kehadirannya bagi Ibu Pertiwi, sisi perjuangan dan tujuan anggotanya untuk menjadi seorang wakil daerah, sisi fungsi legislasi yang telah dilakukannya, sisi memperjuangkan daerah dan masyarakatnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Sisi edukasi, advokasi, empowerment dan enlightemen yang dilakukan oleh anggota DPD RI bagi konstituennya. Sisi manajemen, struktur, cultur dan ketatalaksanaan organisasinya, sisi kepemimpinan DPD RI, sisi hubungan lembaga DPD RI dengan lembaga negara lainnya, dan sisi-sisi lainnya yang bisa disorot dari berbagai dimensi.

Kesempatan ini penulis hanya ingin merefleksikan 11 tahun kehadiran DPD RI berkaitan dengan 7 hari menjelang hari jadi DPD RI yang ke 11 hari ini, dimana Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan berkaitan perjuangan uji materi yang dilakukan oleh DPD RI.

Dalam amar ketetapan dan putusan MK yang bersifat final dan mengikat, salah satu frasenya MK menyatakan “bahwa DPD RI tidak memiliki relevansinya sama sekali untuk ikut membahas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama bersama DPR dan Presiden, DPD RI hanya sebatas memberikan pertimbangan, karena UUD 1945 sengaja membedakan antara pertimbangan dengan persetujuan.”

Begitupun dengan sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia, MK menegaskan “bahwa Indonesia tidak menganut sistem bikameral sesuai dengan bentuk negara Indonesia yaitu negara kesatuan. Lembaga perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945, juga tidak mengenal majelis tinggi dan majelis rendah. Baik DPR maupun DPD adalah lembaga perwakilan yang tugas, wewenang, dan fungsinya telah ditentukan dalam UUD 1945. DPR merupakan representasi perwakilan rakyat, sedangkan DPD adalah representasi perwakilan daerah.”

Berkaitan dengan aspek kesenatan dan istilah senator yang dilekatkan oleh anggota DPD RI selama ini, MK menyatakan bahwa “secara historis, DPD tidak pernah dirancang dan diniatkan sebagai senat seperti misalnya yang dikenal di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, anggota DPD bukanlah senator. Tugas, wewenang dan fungsi DPD sama sekali berbeda dengan tugas, wewenang, dan fungsi senat dalam lembaga perwakilan yang merupakan model bikameral.”

MK bahkan menambahkan amar putusannya dengan mereview kembali jejak kehadiran DPD RI, yang menyatakan “secara historis, kelahiran DPD adalah perluasan tugas, wewenang, dan fungsi utusan daerah yang dikenal pada masa sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Karena itu, namanya sempat diusulkan sebagai Dewan Utusan Daerah. Semangat yang melandasi pembentukan DPD adalah semangat memperkuat negara kesatuan Republik Indonesia yaitu dengan cara memberikan kewenangan kepada wakil-wakil daerah (anggota DPD) untuk turut ambil bagian dalam pengambilan putusan politik tertentu sepanjang berkenaan dengan daerah.”

Membaca amar putusan MK ini, sontak penulis sangat kaget sekaligus meyakinkan diri penulis terhadap apa yang pernah penulis kaji sebelum ini, tentu tanpa ada pretensi dan kepentingan subjektif apapun. Pemikiran penulis murni untuk nusa dan bangsa. Murni untuk sumbangsih pemikiran dalam tataran keinginan untuk melihat kemarwahan dan kebesaran peradaban negara sesuai cita-cita founding father.

Kiranya putusan MK sejalan dengan aliran pemikiran penulis yang pernah penulis tulis dua tahun nan lalu, yang penulis beri judul “Inkonsistensi dan Format Ulang DPD RI’ berikut penulis nukilkan kembali catatannya disini;

Pasca tragedi kehancuran wibawa Mahkamah Konstitusi didepan mata masyarakat, marak kembali wacana untuk amandemen konstitusi, karena dianggap aturan yang mengatur MK masih banyak celah yang lemah sehingga sulit untuk menjauhkannya dari pengaruh kepentingan dan kekuasaan.

Tapi sebenarnya jauh sebelum terjadi tragedi di tubuh MK, nun disudut senayan tepatnya di DPD RI, para anggotanya sudah penat berkoar untuk meninjau kembali konstitusi dengan mengajukan amandemen komprehensif terhadap UUD 1945. Tapi apa nyana, suara-suara itu hanya lewat tersapu angin lalu, gayung tak bersambut. Akibat ulah Akil Mochtar, beberapa kalangan dan kaum cendikia seolah terjaga dari tidurnya, karena itulah saat ini wacana amandemen marak kembali dihembuskan.

Sehubungan dengan wacana amandemen terhadap pondasi dasar dan traktat perjanjian hidup anak bangsa nusantara untuk berkomitmen hidup bersama dalam keranda NKRI, bersama ini saya mencoba melihat satu unsur kelembagaan yang ada dalam konstitusi tertinggi UUD 1945 yang telah diamandemen yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang lahir sebagai jabang reformasi.

Dari beberapa catatan realitas sejarah lahirnya DPD RI, saya menangkap ada beberapa inkonsistensi keberadaan lembaga DPD RI saat ini dengan gagasan dan sejarah awal konsep ideal kelahiran negara ini, diantaranya :

1. Inkonsistensi Historis, Filosofis dan Bentuk Negara

Saat ini, sering kita mendengar anggota DPD RI yang secara implisit mengistilahkan diri dengan sebutan senator. Saya melihat keberadaan anggota DPD RI sebenarnya tidaklah konsisten dengan kondisi realitas perjalanan bangsa Indonesia dalam berketatanegaraan dalam bingkai NKRI.

Dari pengalaman perjalanan sejarah, bangsa Indonesia memang pernah memiliki Senat dalam sistem ketatanegaraannya, tetapi senat yang dimaksud dalam UUD RIS 1949-1950, filosofi semangat dan rohnya tidaklah sama dengan DPD RI saat ini. Senat dimasa UUD RIS 1949-1950 itu muncul karena konsekuensi logis dan konsisten dengan bentuk negara kita yang federasi bukan kesatuan. Setelah kembali ke UUD 1945 maka senat ditiadakan, perwakilan daerah kembali ditampung dalam representasi di MPR RI yakni dengan sebutan Utusan Daerah.

Dalam perdebatan ilmiah ketatanegaraan, sering juga kita membandingkan konsep bikameralisme yang mau kita anut dengan konsep negara lain. Ini boleh dan sah-sah saja untuk sebuah komparasi konsep. Tetapi yang harus diingat kita jangan terjebak sebatas membandingkan bentuk negara dan model parlemennya. Kita kadang terlalu gampang menjustifikasi untuk pembenaran penguatan bikameralisme di Indonesia dengan membandingkan bahwa banyak negara yang bentuk negaranya kesatuan tetapi menganut model parlemen bikameral, seperti Prancis, Belanda, Jepang, Afrika Selatan, Mesir, Maroko, Thailand, Filiphina, Kazakhastan, Mauritinia, Yordania, Aljazair dan sebagainya.

Menurut saya tidaklah bisa semudah itu kita membandingkannya, karena historis kelahiran sebuah negara, struktur, kultur, tradisi, sosiologis, anthropologis, psikologis, ethnographis, sistem dan iklim politik, geopolitik dan berbagai pendekatan lainnya sangat jauh berbeda. Kita selama ini hanya melihat dari sisi ketatanegaraan saja, tetapi jarang melihat sebuah sistem secara komprehensif dari berbagai sudut pandang elemen yang mempengaruhinya.

Pertanyaannya bukan karena bentuk negara apakah Kesatuan atau Federal sistem bikameral diterapkan, karena tidak ada langgam, teori dan praktek yang an sich untuk konsep bikameralisme ini. Tapi yang perlu kita kaji lebih jauh adalah apakah keterwakilan suara daerah sudah mempresentasikan segenap elemen dan unsur yang ada di setiap daerah. Selain itu apakah unsur perwakilan daerah itu harus ditampung dalam sebuah desain kelembagaan setara dengan DPR RI atau cukup ditampung dalam MPR RI seperti konstitusi sebelum diamandemen, karena desain kelembagaan harusnya manifestasi dari filosofi, nilai dan semangat yang hidup disuatu negara.

Dalam sejarah pembentukannya, para founding father kita merancang lembaga legislatif di negara Indonesia ini yang termaktub dalam UUD 1945, menggali dan mengkajinya berdasarkan filosofi, nilai dan semangat yang hidup dan tumbuh di nusantara ini, yakni filosofi Musyawarah, Gotong Royong dan Perwakilan. Karena itu warna warni perbedaan tersebut ditampung dalam badan perwakilan yang namanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, adapun secara garis besarnya unsur keanekaragaman itu adalah representasi politik, representasi wilayah dan representasi golongan dan profesi.

Karena itu dalam MPR ada yang namanya DPR sebagai perwakilan politik, Utusan Daerah sebagai perwakilan wilayah dan Utusan Golongan sebagai perwakilan golongan dan profesi. Namun dalam perkembangannya, akibat euphoria reformasi yang terlalu lupa diri, kita mereduksi filosofi ini, semangat gotong royong, kekeluargaan dan musyawarah kita rombak menjadi semangat individual dan dikotomis. Karena itulah desain keparlemenan kita menjadi polos dan lugas yakni terdiri atas DPR RI dan DPD RI.

2. Inkonsistensi representasi

Dikutip pernyataan jimly (2007;156) bahwa prinsip yang dianut dalam UUD 1945 “semua harus terwakili” yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (political representation, perwakilan teritorial (territorial representation) atau perwakilan daerah (regional representation) dan perwakilan fungsional (functional representation) yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI.

Menjadi sebuah pertanyaan kemana perginya prinsip keterwakilan fungsional di MPR RI yang selama ini dipresentasikan oleh utusan golongan di MPR RI pasca amandemen UUD 1945 ? berarti kemunculan DPD RI adalah diskriminasi yuridis terhadap realitas representasi golongan yang sesungguhnya berkembang ditengah masyarakat, seperti tidak terakomodasi dan terpresentasikannya golongan adat, golongan agama, golongan profesi, golongan organisasi massa dan lainnya yang amat banyak membentuk sistem sosial ditengah kehidupan bangsa Indonesia.

Saat ini tidak benar lagi dan merupakan sebuah inkonsistensi, jika ada argument dan justifikasi yang menyatakan bahwa DPD RI merupakan representasi perwakilan ruang berupa daerah/territorial, dan DPR RI mempresentasikan rakyat pada umumnya dengan orientasi nasional. Realitasnya saat ini, dalam syaratnya untuk rekrutmen menjadi anggota DPR dan DPD adalah sama, semua serba normatif tidak ada syarat substanstif dan afirmatif yang jelas membedakan rekrutmen lewat parpol untuk representasi politik dan rekrutmen untuk mendapatkan representasi territorial, apalagi anggota DPD boleh dari partai politik bahkan menjadi pengurus partai politik. Sehingga antara anggota DPD RI dan DPR RI tidak ada bedanya secara representasi.

3. Inkonsistensi Independensi

Salah satu unsur pembeda DPD RI dengan DPR RI adalah sisi kenetralannya dalam politik, tetapi sekarang malah anggota DPD RI bisa dari partai politik dan menjadi pengurus partai politik.Hal ini terjadi akibat perubahan dalam Pasal 63 huruf (b) UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu bahwa “syarat menjadi calon anggota DPD tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya empat tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.” Namun dalam UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu sayarat ini tidak ada lagi dan menyatakan bahwa “pengurus partai politik boleh menjadi anggota DPD.” Ambigunya jika bagi PNS, TNI, Anggota kepolisian, pengurus pada BUMN harus mundur dari profesi dan status kepegawaiannya dan tidak dapat ditarik kembali.

Saat ini banyak anggota DPD RI yang berasal dari partai politik. Hal ini menyebabkan independensi perwakilan dan kenetralan anggota DPD RI yang dari parpol untuk menyuarakan aspirasi masyarakat legitimasinya patut dipertanyakan. Dimana unsur perwakilan territorialnya ? bukankah ini lebih kepada perwakilan titipan partai di DPD RI untuk membagi bagi kursi dalam pemilu ? mengakibatkan hilangnya semangat independensi keberadaan DPD RI dari independensi menjadi partisan partai politik.

4. Inkonsistensi Ilmiah

Munculnya lembaga DPD RI tidak terlepas dari kepentingan partai politik dan lahir secara kompromistik dengan cara lobi-lobi, bukan didasari atas kajian ilmaih dan penggalian filosofistik sosilogis dan cultural bangsa Indonesia. Ini bisa disebut pengingkaran ilmiah dalam pembuatan sebuah regulasi. Sebagaimana yang kita ketahui, saat pembentukan DPD RI terjadi deadlock akibat Fraksi Utusan Golongan tidak menerima dihapus dari MPR RI, begitupun perdebatan tentang kewenangan dan status Dewan Perwakilan Daerah muncul dikalangan fraksi di MPR, sebagian ada yang mendukung jika DPD diberi status sama halnya dengan DPR yakni sebagai lembaga legislatif.

Fraksi PDIP saat itu menolak jika status DPD disamakan dengan DPR, sedangkan Fraksi Partai Golkar justru meminta kedua-duanya mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan yang sama. Kemudian Fraksi PPP lah yang muncul sebagai hakim penghulu untuk menengahi diantara keduanya, dimana DPD tetap diberi kewenangan legislasi, hanya saja bersifat terbatas. Melalui kompromi yang dilakukan diantara ketiga fraksi tersebut, akhirnya sepakat bahwa DPD diberi kewenangan terbatas dalam bidang legislasi seperti yang berlaku sekarang ini, bak singa ompong yang tak bergigi.

Format Ulang DPD RI

Bagaimanapun negara ini tidak bisa menampik keberadaan dan eksistensi keberadaan representasi wilayah dan golongan di Negara ini, jauh sejak zaman kerajaan sampai saat pembentukan Indonesia Merdeka dan sampai saat ini, figurasi kemajemukan Indonesia tetap diakomodasi dalam konstitusi. Karena itu menghilangkan representasi perwakilan daerah dan perwakilan golongan dalam konstitusi juga bukanlah sebuah solusi dan kebijakan terbaik bagi bangsa ini.

Cuma yang perlu diperbaiki kedepannya, menurut saya pertama adalah pola rekrutmen calon anggota perwakilan wilayah/daerah yang betul-betul mewakili representasi wilayahnya, tokoh tokohnya haruslah orang yang benar-benar menjadi panutan dan disegani yang memiliki kapasitas, kapabilias dan aksestabilitas yang tinggi di daerahnya, karena itu pola rekrutmennya harus ada syarat yang ketat dan adaaffirmative action, sehingga syarat yang bisa menjadi perwakilan daerah tidak bisa diberlakukan secara umum begitu saja.

Tokoh yang bisa mendaftar adalah yang betul-betul netral dan independensi, tidak terafiliasi dengan partai politik, mengenal dan pernah tinggal didaerahnya selama sekian tahun, dan berbagai syarat yang memenuhi unsur kompetensi dan integritas lainnya.

Kedua, dalam lembaga perwakilan daerah ada perimbangan unsur representasi perwakilan wilayah dan representasi golongan profesi. Selama ini kita lihat filosofi keberadaan DPD RI cenderung hanya mewakili ruang atau kewilayahan saja dalam arti mewakili secara fisik, sedangkan elemen-elemen yang ada dalam ruang tersebut yang merupakan subjek dan roh utamanya tidak tersentuh sama sekali.

Karena itu perlu diakomodasi perwakilan-perwakilan golongan dan profesi seperti golongan adat, golongan agama, golongan masyarakat perbatasan, golongan masyarakat pesisir, golongan lansia, ormas dan sebagainya begitupun perwakilan profesi seperti buruh, Pegawai Negeri Sipil, TNI/Polri, Advokat, Dokter, Petani, dan sebagainya.Karena filosofi, nilai dan semangat awal founding father membentuk lembaga perwakilan rakyat tertinggi bagi Negara ini yang namanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah filosofi keterwakilan berbagai unsur yang ada di negara ini, sebagai perekat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang saat ini tugas, fungsi dan kewenangannya semakin terdegradasi.

Ketiga, dari perbaikan pola rekrutmen diatas, kemudian bentuk dan kewenangan lembaganya perlu ditata kembali, karena saat ini lembaga legislatif kita serba tidak menentu apakah satu kamar, dua kamar atau tiga kamar. Sebenarnya bukan hanya DPD RI yang dipertanyakan keberadaannya apakah badan legislataif atau bukan, karena memang tidak ada hak legislasi kongrit dan hak sebagai legislator lainnya yang dimiliki DPD RI. MPR pun juga perlu dipertanyakan dalam kondisinya saat ini, apakah parlemen atau bukan. Nantinya diharapkan, desain kelembagaan betul-betul dikaji secara jernih dan komprehensif, seperti apakah nanti MPR menjadi joint session saja tanpa ada lembaga permanennya, apakah lembaga yang mempresentasikan perwakilan wilayah dan golongan ini menjadi badan tersendiri dengan seperangkat kewenangan mutlak yang dimilikinya atau sebuah badan yang berdiri dibawah naungan MPR RI.

Semuanya harus matang dikaji kembali, lepas dari segala kepentingan politik yang menungganginya. Semoga jika memang kembali para cendikia dan tokoh-tokoh bangsa ini melakukan amandemen terhadap UUD 1945, diharapkan betul-betul lahir dari kejernihan hati dan keluar dari hasil kebersihan metodologi penelitian ilmiah yang betul-betul dikaji, dianalisis, dikomparasi, ditimbang dari berbagai segi dan dikerjakan dengan cara serius dan seksama.

Sehingga konstitusi kita dapat bertahan sekian abad kedepan dan tidak selalu ribut dengan menyalahkan konstitusi tersebut untuk selalu diutak atik kembali. Itulah setitik catatan penulis sebagai partisipasi intelektual dalam refleksi 11 tahun DPD RI.Jayalah Indonesia, Jayalah sistem perwakilan Indonesia.

Bisa juga dilihat disini :https://empimuslion.wordpress.com/2013/12/17/inkonsistensi-dan-format-ulang-dpd-ri/ *)

Keterangan Foto Utama : (Dinding depan gedung Nusantara IV komplek MPR, DPR dan DPD RI, dok.Pribadi.)

Read Full Post »

gedung mpr

Oleh : Empi Muslion

Saat ini dialektika tentang keberadaan DPD RI secara khusus dan konstruksi sistem lembaga perwakilan Indonesia pada umumnya kembali menjadi diskursus yang menghangat.

Sebelumnya DPD RI telah mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi yakni lewat permohonan Nomor  79/PUU-XII/2014 yang diajukan tanggal 15 Agustus 2014, salah satunya  mengenai Pasal 174 ayat (1) UU 17/2014 dianggap bertentangan dengan Bab VIIA Dewan Perwakilan Daerah, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 karena mengelabui kewenangan dan tugas DPD RI.

Pada kesempatan ini, saya mencoba mengintisarikan menjadi beberapa item hasil ketetapan dan putusan MK yang saya yakini akan menjadi topik seksi dan hangat didialektikakan dilorong-lorong diskusi publik, terutama topik yang berkaitan penataan kembali sistem perwakilan Indonesia. Bisa jadi wacana ini akan berujung pada kuatnya arus untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945 secara komprehensif.

Inilah beberapa item ketetapan dan putusan MK terkait Uji Materi yang diajukan oleh DPD RI, terutama dalam norma Pasal 174 ayat (1) :

  • Menurut Mahkamah norma Pasal 174 ayat (1) Undang-Undang a quo mengenai pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama disampaikan sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan Presiden adalah sudah tepat sebab kewenangan DPD atas rancangan undang-undang tersebut hanya sebatas memberikan pertimbangan dan tidak ikut membahas rancangan undang-undang, sehingga tidak ada relevansinya sama sekali apabila pertimbangan DPD tersebut diberikan pada saat pembahasan antara DPR dan Presiden sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. UUD 1945 sengaja membedakan antara pertimbangan dengan persetujuan.
  • Indonesia tidak menganut sistem bikameral sesuai dengan bentuk negara Indonesia yaitu negara kesatuan.
  • Lembaga perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945, juga tidak mengenal majelis tinggi dan majelis rendah. Baik DPR maupun DPD adalah lembaga perwakilan yang tugas, wewenang, dan fungsinya telah ditentukan dalam UUD 1945. DPR merupakan representasi perwakilan rakyat, sedangkan DPD adalah representasi perwakilan daerah.
  • Secara historis, DPD tidak pernah dirancang dan diniatkan sebagai senat seperti misalnya yang dikenal di Amerika Serikat.
  • Oleh sebab itu, anggota DPD bukanlah senator.
  • Tugas, wewenang dan fungsi DPD sama sekali berbeda dengan tugas, wewenang, dan fungsi senat dalam lembaga perwakilan yang merupakan model bikameral.
  • Secara historis, kelahiran DPD adalah perluasan tugas, wewenang, dan fungsi utusan daerah yang dikenal pada masa sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Karena itu, namanya sempat diusulkan sebagai Dewan Utusan Daerah.
  • Semangat yang melandasi pembentukan DPD adalah semangat memperkuat negara kesatuan Republik Indonesia yaitu dengan cara memberikan kewenangan kepada wakil-wakil daerah (anggota DPD) untuk turut ambil bagian dalam pengambilan putusan politik tertentu sepanjang berkenaan dengan daerah.

Menurut penulis hampir semua item diatas, hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi yang putusannya final dan mengikat menjadi sebuah bumerang bagi lembaga dan anggota DPD RI ditengah upaya dan usahanya dalam memperkuat keberadaan dan wewenang DPD RI. Apalagi beberapa istilah seperti senator dan bikameralisme dilingkungan DPD RI sebelum ini gencar disosialisasikan.

Tetapi apa nyana hasil keputusan MK bak menampar wajah para wakil-wakil daerah, tanpa dinafikan secara elektabilitas dan otoritas keterwakilannya sangat besar daripada anggota DPR RI, karena untuk menjadi anggota DPD RI jumlah dan luas daerah pemilihannya lebih besar dari anggota DPR RI.

Bola panas telah diputus dan digulirkan oleh MK, anggota DPD RI tentu tidak akan mendiamkan begitu saja semua ini, jika kembali mengajukan Uji Materi kepada MK rasanya sudah semakin muskil dan menambah jurang bunuh diri.  Jalan terakhir menurut penulis hanya dua cara, pertama tiada lain berusaha kembali mengakumulasi tenaga dan pikiran untuk meyakinkan MPR RI dan segenap elemen bangsa untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945. Inipun hasilnya juga penuh misteri, bisa jadi hasil keputusan MK akan menjadi tangga kuat bagi kamar sebelah DPR RI untuk semakin mendegradasi keberadaan DPD RI atau malah mengembalikan DPD RI seperti utusan daerah saat UUD 1945 sebelum diamandemen.

Cara kedua, DPD RI mengubur jauh-jauh upaya penguatan kewenangan lembaga DPD RI, saatnya segala sumberdaya dan idealisme mewakili daerah untuk memajukan bangsa dan negara dengan fokus mengerjakan tugas-tugas keparlemenan sepanjang amanat yang sudah digariskan dalam konstitusi. Disamping selalu mencoba mencari cara lain untuk melihatkan eksistsensi dan keberadaan lembaga dan anggota DPD RI dirasakan kehadirannya ditengah-tengah masyarakat dan daerah.

Semoga catatan kecil ini, bisa menjadi renungan, motivasi, introspeksi dan berbuat lebih bermakna lagi dalam menyambut refleksi 11 tahun kehadiran DPD RI di ranah NKRI, yakni esok hari 1 Oktober 2015… Semoga..

*) Keterangan Foto Utama : (Dinding depan gedung Nusantara IV komplek MPR, DPR dan DPD RI, dok.Pribadi.)

Read Full Post »

Oleh : Empi Muslion

Selang sengkarut kasus hukum yang menjerat pejabat negara di republik ini semakin hari semakin meningkat, saat ini lagi riuh riaknya para pejabat dibidang penegak hukum di KPK dan Polri yang menghiasi hampir semua pemberitaan di media, terutama pasca pengajuan calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden Jokowi yakni Irjenpol Budi Gunawan (BG) dan disangkakannya kasus hukum kepada komisioner KPK Bambang Widjoyanto (BW), serta dilaporkannya hampir keseluruhan komisioner KPK ke Bareskrimpolri dengan berbagai sangkaan kasus masa lalunya. Hal ini tentu akan membawa berbagai dampak yang luas ditengah masyarakat, terutama kepastian kelancaran tugas KPK dalam penegakkan hukum terhadap kasus kejahatan korupsi.

Dengan tersangkanya beberapa orang komisioner KPK banyak sedikit pasti berpengaruh terhadap intensitas pekerjaan besar di KPK dalam penanganan kasus korupsi yang kian menumpuk. Disatu sisi masyarakat tentunya tidak menginginkan lembaga KPK tersandera oleh kasus hukum personil komisionernya, terlepas nantinya mereka bersalah atau tidak, tetapi yang jelas KPK secara kelembagaan pasti akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Seperti saat ini BW baru hanya mengundurkan diri secara sementara dari KPK, tentu dengan pengunduran diri ini otomatis komisioner KPK akan berkurang, sudah barang tentu mengganggu kelancaran tugas KPK.

Disatu sisi, untuk menunggu kepastian penetapan status hukum bagi pejabat negara yang terkena kasus hukum pastinya tidaklah sebentar, akan memerlukan proses yang panjang dan memakan waktu yang cukup lama.

Untuk mengatasi hal tersebut, kiranya perlu dipikirkan kembali format yang bermartabat dalam mencari solusi terbaik bagi penanganan banyaknya kasus hukum yang menjerat pejabat negara dan meminimalisir dampaknya terhadap kinerja lembaga yang mereka naungi. Salah satunya mungkin perlu diwacanakan dan dipikirkan kembali memasukkan asas forum privilegiatum dalam UUD 1945 atau melalui Perpu terhadap UU tentang Mahkamah Agung.

Berkaitan dengan wacana menghidupkan kembali asas forum privilegiatum dalam konstitusi, sebenarnya telah dirintis dan digaungkan oleh DPD RI pada periode yang lalu (2004-2009), yang telah melakukan serangkaian penelitian, pembahasan dan diskusi publik bahkan melakukan kerjasama dengan 99 perguruan tinggi ditanah air, para pakar, dan tokoh masyarakat lainnya, hasil kajian tersebut telah dinormakan dalam sebuah naskah usul perubahan kelima UUD 1945. Hasilnya DPD RI memperoleh 10 isu strategis yang menjadi pokok-pokok perubahan kelima UUD 1945, yang mana salah satunya adalah isu tentang forum privilegiatum yakni diperlukannya suatu kepastian hukum bagi seorang pejabat negara yang menghadapi proses peradilan, agar tidak ‘tersandera’ proses hukum yang berlarut-larut.

Forum privilegiatum

Konsepsi forum privilegiatum ini sebenarnya diadopsi dari konstitusi Belanda tahun 1814 yang terdapat dalam pasal 119. Dalam hal ini anggota dan mantan anggota parlemen , para Menteri , dan Sekretaris Negara dapat diadili di Mahkamah Agung untuk pelanggaran yang dilakukan saat di kantor . Aturan ini menyatakan bahwa orang-orang di atas peringkat tertentu harus memiliki forum privilegiatum dimana penuntutan dapat dimulai untuk pelanggaran jabatan pejabat berpangkat tinggi seperti halnya dengan kepala negara.

Dari segi definsi forum privilegiatum dapat dilihat sebagaimana dalam kamusEncyclopedia Americana ; A popular Dictionary of arts, sciences, literature, history, politics, and biography (Edward Wigglesworth,Thomas Gamaliel Bradford,  halaman 188 ) “Forum privilegiatum is a tribunal under the jurisdiction of which any one comes on account of his personal or official character. The clergy, for example (in some countries), have a forum privilegiatum, as they do not come under the jurisdiction of common courts, but under that of a consistorium.”

Dalam Kamus Hukum (J.C.T. Simorangkir dkk, hal 62-63) Forum Privilegiatumdisebutkan adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri. Sedangkan Saldi Isra, 2013, mendefinisikan sebagai “Pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui proses peradilan khusus (special legal proceedings). Pejabat yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui proses dari tingkat bawah (konvensional)”.

Forum privilegiatum pernah diterapkan di Indonesia, di masa konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUDS 1950, yakni berdasarkan pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan pasal 106 UUD Sementara 1950, yang keduanya berbunyi “Presiden, Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Ketua, Wakil Ketua dan anggota-anggota DPR, Ketua, Wakil Ketua dan anggota MA, Jaksa Agung, anggota-anggota majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan Undang-Undang diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti.” Disini peran MA sebagai forum khusus tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat Negara.

Dalam sejarah praktek ketatanegaraan, beberapa pejabat negara pernah mengalami forum privilegiatum ini, seperti Menteri Negara Sultan Hamid pernah dituntut oleh Jaksa Agung R. Soeprapto di MA dengan majelis hakim yang diketuai Ketua MA, Mr. Wirjono Prodjodikoro dalam forum privilegiatum dengan hukuman 10 tahun dari tuntutan 18 tahun potong masa tahanan. Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kemakmuran Mr. Isqak, Jenderal Nasution, Kemal Idris dan lainnya pernah diperiksa berkaitan perlakuan khusus ini semasa berlakunya forum privilegiatum ini (Miftakhul Huda, 2010).

Dari sisi perbandingan hukum, forum khusus untuk pejabat negara juga diterapkan di Prancis yang dalam Pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat pemerintah yang melakukan pengkhianatan terhadap negara disidangkan pada tingkat pertama dan terakhir di Mahkamah Agung Prancis. Selain itu dalam konstitusi Thailand juga membentuk The Supreme Court’s Criminal Division for Person Holding Political Positions, yaitu divisi khusus di MA Thailand untuk memeriksa pejabat negara yang terlibat tindak pidana. Divisi khusus pidana di MA Thailand ini melengkapi fungsi National Counter Corruption Commission, Komisi Pemberantasan Korupsi ala Thailand yang eksistensinya juga dijamin dalam konstitusi, dan beberapa negara lainnya yang menerapkan forum khusus ini (Saifudien, 2009).

Penerapan forum privilegiatum kedepan

Untuk saat ini sebenarnya dalam sistem ketatanegaraan kita masih ada pejabat yang mendapatkan forum privilegiatum terbatas yakni bagi Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana tercantum dalam pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.” Walaupun akhirnya keputusan MK ini bisa diterima atau dianulir kembali melalui keputusan politik lewat hasil keputusan MPR.

Pasal inipun sebenarnya menjadi perdebatan yang belum tuntas sampai saat ini, karena pasal ini dianggap bertentangan dengan azas the rule of law dan equality before the law yang menyatakan bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya didepan hukum. Oleh Adnan Buyung Nasution dalam bukunya demokrasi konstitusional: pikiran dan gagasan, (hal; 179) mengatakan bahwa “kewenangan ini mestinya tidak hanya terbatas pada memeriksa perkara pidana terhadap Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga semua menteri dan pejabat tinggi negara setingkat menteri. Model pengadilan semacam forum privilegiatum ini meskipun mengandung unsur privilege, mekanisme tersebut semata-mata bukan untuk mengistimewakan para pejabat tinggi, tetapi justru dengan alasan mempertimbangkan urgensi penyelesaian kasus-kasus yang berdampak besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Jikapun forum privilegiatum belum bisa dimasukkan kedalam konstitusi melalui amandemen, untuk solusi jangka pendek forum privilegiatum dapat diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Perpu yang kemudian menjadi UU. Dasar penambahan kewenangan kepada MA tersebut ialah Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”

Sudah barang tentu, jikapun nanti ada wacana memasukkan forum privilegiatumdalam wacana amandemen kelima UUD 1945, azas ini akan tetap mendapatkan kritikan baik yang pro maupun kontra, karena forum privilegiatum juga tidak terlepas dari kelemahan, yakni bisa saja digunakan oleh pemegang kekuasaan untuk menjatuhkan orang yang dianggap tidak mendukungnya, dengan catatan jika lembaga MA nya lemah dan bisa ditembus oleh intervensi politik, tetapi jika MAnya kuat, tegas dan berwibawa, azas ini sepertinya memiliki peluang yang kecil untuk disalahgunakan dan bermanfaat bagi penyelematan efektifitas lembaga negara.

Dalam tragedi KPK saat ini, juga muncul dorongan yang kuat dari beberapa elemen anak bangsa untuk memberikan asaz imunitas bagi komisioner KPK, tentu hal ini juga akan menimbulkan polemik yang panjang, karena komisioner KPK bukanlah malaikat ataupun dewa yang tak luput dari godaan dan kesalahan, dan juga akan memantulkan wajah diskriminasi hukum terhadap warga negara, karena setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, namun untuk menyelamatkan lembaga negara yang terganggu oleh kasus yang menimpa pejabatnya, maka salah satu solusi melalui forum privilegiatum mungkin bisa dikunyah kunyah kembali.

Read Full Post »

Saudaraku sebangsa dan setanah air, dalam naungan Doa dan harapan Ibu Pertiwi, melihat kembali naiknya tensi politik anak negeri akhir-akhir ini. Saya ingin mengajak, marilah kita sama-sama belajar dewasa dan ikhlas menerima realita.

Presiden adalah representasi negara, kalau kita menghujat presiden secara tak langsung kita juga menjatuhkan harga diri bangsa kita sendiri. Jikapun tidak sehaluan dengan Pak Jokowi, jangan lihat Jokowinya tapi lihatlah Presidennya Negara Indonesia, tempat kita hidup, bernafas, bernaung, beribadah, bercengkrama, mencari nafkah, dan mungkin tempat tanah kita kembali ke alam baqa.

Dalam demokrasi, pendapat, masukan dan kritik adalah hak semua orang, dan itu mutlak adanya, tidak boleh dipasung, jika tidak ada kritik maka kekuasaan akan terlena untuk diselewengkan. Tapi berilah masukan dan kritik yang konstruktif, objektif, solutif dan fakta yang relevan, jangan terlalu jauh mencela masuk keranah norma pribadi yang kadangkala miris kita membaca dan mendengarnya.

Kita semua bersaudara sebangsa dan setanah air. Jika nanti katakanlah jalan kompetensi merebut takhta Presiden kembali terulang, antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo atau dengan anak bangsa siapapun. Sekiranya pemenangnya adalah Pak Prabowo atau siapapun yang bukan Bapak jokowi. Kemudian orang yang memiliki garis ideologis dan perhatian terhadap Pak Jokowi melakukan hal yang sama terhadap Pak Prabowo atau yang lain, apakah seperti itu yang kita inginkan ? Apakah seperti itu kita memaknai demokrasi dan nilai-nilai luhur Pancasila yang diwarisi oleh nenek moyang bangsa nusantara ini ?

Marilah kita sama-sama belajar berempati, berdemokrasi, saling menghargai, belajar untuk membangun negeri secara bersama-sama, terlalu banyak permasalahn bangsa ini yang harus kita selesaikan secara bergandeng tangan.

Salam Indonesia…

Read Full Post »

Older Posts »