ANAK KAMPUNG KESASAR MENCARI WARUNG CEPAT SAJI DILUAR NEGERI
Oleh : Empi MUSLION Jb
Sumber ; Harian Padang Ekspres.co.id / Sabtu, 03 Mei 2008
MacDonalds, KFC, CFC, Texas Fried Chicken, Dunkin Donuts, Pizza Hut, Wendy’s, A & W, Starbucks dan entah apakah lagi namanya yang akan menukar lidah rakyat Indonesia, saat ini sepertinya sudah menjadi identitas tersendiri bagi bangsa kita. Sebuah kebanggaan yang bergelayut jika memasuki warung warung tersebut dan jika telah keluar dari sana seolah olah telah melekatkan aroma dipakaian dengan label status sosial kalangan menengah atas, apalagi jika pulangnya menenteng plastik atau keranjang yang bertuliskan logo logo yang kita anggap “WAH” tersebut.
Sadarkah kita sepenuhnya gelombang fenomena ini ? pada kesempatan ini saya ingin berbagi pengalaman yang kebetulan saat ini lagi mengasingkan diri di negara yang juga sama majunya dengan negara Amerika Serikat yakni negara Perancis. Tanpa disadari lambat laun bagi kita bangsa Indonesia dan orang Minangkabau khususnya, yang selama ini telah tertoreh sebagai etnis yang jago masak dengan berbagai fariasi bumbu, resep, aroma dan jenis masakan. Kedepan jika tidak cepat menyadari kondisi yang berlangsung, maka siap siaplah usaha warung/rumah makan/restoran Minang/Padang tidak akan lagi bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarga dimasa mendatang.
Lambat atau cepat nama nama “WAH” tersebut akan menggilas pelan tapi pasti warung/rumah makan padang yang menjadi kebanggaan dan salah satu penopang hidup dan penyambung nafas bagi anak Minangkabau dimanapun berada. Lihat saja nama rendang sudah masuk kedalam menu pada salah satu warung cepat saji International itu, dan tunggu saja nama nama lainnya seperti pangek ikan, palai bada, gulai ayam, nasi kapau, dendeng balado, sate pariaman dan masakan khas Minang lainnya akan menyusul kisah rendang yang lebih diberdayakan/dikomersialkan oleh orang atau bangsa lain ketimbang anak negeri kita sendiri.
Tentunya pengusaha restoran restoran cepat saji itu bisa saja beralasan bahwa usaha ini adalah hal yang lumrah di era globalisasi, era perdagangan bebas, usaha yang dilakukan juga untuk menyerap tenaga kerja lokal, ada kemitraan dengan distributor ayam, sayuran, beras, minuman dan sebagainya yang juga pekerja lokal. Benar sekali alasan itu tidak ada salahnya sedikitpun.
Tetapi sadarkah kita apa yang ada dibalik itu ? bukankah kita tidak hanya sekedar dijadikan sebagai budak di negeri sendiri ? sadarkah kita bahwa kita hanya dijadikan sebagai kaki tangan untuk menyedot mesin uang ? sadarkah kita bahwa kita hanya dijadikan sebagai pembayar pajak untuk ditarik ketempat asal negara siempunya usaha ? sadarkah kita bahwa lambat laun anak anak dan generasi penerus bangsa akan menjadikan nasi padang, warteg, pecel lele, nasi rawon hanya akan menjadi mumi abadi bagi aroma masakan Indonesia ? memang tidak dinafikan pula berapa banyak karyawannya yang bisa hidup berkecukupan dengan usaha ini, tetapi berapa persen perputaran uang yang mengalir ke Negara siempunya usaha dan berapa persen dampaknya terhadap mematikan usaha usaha lokal anak negeri ?
Ada lagi pertanyaan yang dimuncukan untuk dapat menerima kenyataan mengapa nama nama yang kita anggap “WAH” tersebut diatas begitu cepat berkeliaran di ujung ujung lidah dan sudut sudut ruang kota kita. Bahwa para pengusaha warung/rumah makan kita sendiri yang kurang mau berinovasi, kurang tanggap terhadap promosi pemasaran, tidak memperhatikan hieginitas dan kebersihan, kurang dikelola secara profesional, tanpa menafikan alasan itu juga benar sama sekali. Jadi oleh karena itukah kita harus legawa mengeluarkan izin pendirian pembukaan nama nama “WAH” yang kita anggap membawa kemajuan sebuah kota itu untuk mudah diberikan ? sebuah logika berfikir dan kebijakan kota yang amat konyol. Bukankah pertanyaannya harus dibalik, mengapa kita tidak mendampingi/menginformasikan/memberdayakan/membuat jaringan/mengajari para pengusaha pengusaha kecil kita itu untuk bersih, hiegenis, cara promosi, cara pemasaran dan mengelola warung secara profesional ? apakah kata profesional hanya berlaku dan selalu identik dengan usaha berskala besar dan modal tebal ?
Karena itu pada kesempatan ini, saya ingin membagi pengalaman dengan Negara Perancis yang merupakan salah satu negara maju di dunia, tiada maksud saya sedikitpun untuk membanggakan diri dengan menyebut nyebut nama negara perancis dan membandingkannya dengan negara kita, bagaimanapun tentunya tidaklah bisa dibandingkan, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing pada tingkatan dan tataran sudut pandang tersendiri. Semua ini hanya wujud kegalauan dan kegelisahan bathin selaku anak negeri yang selalu menyeruak, kebetulan saja saya mendapat Hidayah untuk bisa mengecap pendidikan di negara perancis ini, dan rasanya sebuah tanggung jawab moral dan kebahagian tersendiri jika saya dapat berbagi cerita dengan para dunsanak dikampung halaman.
Tentang label/logo/simbol nama nama “WAH” tadi, dalam hal ini ada sisi sisi positif di negara perancis ini yang menurut pikiran saya kiranya mungkin perlu kita pertimbangkan bagi si pengambil keputusan dan pembuat kebijakan sebuah kota dalam pemberian izin pendirian sebuah waralaba atau sejenisnya di daerah atau negara kita. Bagaimanapun si pengusaha warung cepat saji atau perusahaan besar lainnya tidaklah dapat disalahkan, yang namanya berusaha dan pengusaha tentu segala celah dan peluang akan dimanfaatkan sepenuhnya bagi mendapatkan keuntungan yang besar. Karena itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah-lah yang harus betul betul memikirkan segala dampak liberalisasi perdagangan ini bagi kemajuan dan perkembangan ekonomi kerakyatan anak negeri. Karena kebanyakan pengusaha kita masih berada pada tataran berkembang dan berskala kecil, maka pembinaan, pemberdayaan, perlindungan dan proteksi terhadap mereka adalah mutlak adanya.
Ketika pertama kali saya datang kesini, saya sangat heran dan terkaget kaget melihat kota kota di negara perancis ini (maklum anak kampung keluar negeri), kaget bukan melihat menara Eiffelnya, kaget bukan melihat bangunan bangunan kuno zaman renaisancenya, kaget bukan karena merasakan nyamannya transportasi publik mereka, kaget bukan melihat keromantisan warganya, tetapi yang saya kagetkan adalah saat perut lapar habis berkeliaran di sudut sudut kotanya, alangkah susahnya mencari nama nama “WAH” yang kita sebutkan diatas itu disudut sudut kota Perancis ini, maklum baru beberapa hari datang selera belum terbiasa dengan lidah baguette, kebab, toko/warung roti patiserie, boulangerie, brasserie (semacam warung warung/rumah makan Padang kita) dan lainnya, karena toko toko makanan seperti inilah yang umumnya menghiasi kota kota besar di perancis. Bagaimana dengan nama nama keren yang kita anggap “WAH” diatas ? bukannya tidak ada tetapi dapat dihitung dengan jari pada satu tangan saja dan tempatnyapun bukan ditempat tempat strategis.
Setelah saya mulai memasuki bangku sekolah disini dan mencoba bertanya dan berdiskusi kepada orang orang yang mengerti tentang perdagangan bebas, mengerti tentang ekonomi kerakyatan, mengerti tentang perlindungan usaha masyarakat, mengerti tentang budaya dan peradabannya, mengerti tentang perlindungan sosial hak warga negara, mengerti tentang manajemen kota dan desa, hubungan perusahaan dan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, dsb baru kekaget-kagetan saya mulai sedikit terjawab diiring dengan tarikan nafas.
Kiranya mereka bukanlah benci dan tidak mau membuka diri dengan masuknya berbagai macam merek/produk/usaha yang kita anggap “WAH” diatas, mereka bukannya tidak mau menceburkan diri kedunia globalisasi yang mereka sendiri ikut sebagai aktornya, mereka bukannya tidak mau begitu mudahnya memberikan izin untuk membuka sebuah usaha yang memonopoli, namun jawabannya cuma sederhana “semua demi pemerataan kesempatan berusaha dan kelangsungan hidup dan kesejahteraan warga negara kami,” jadi mereka membuat aturan dan proteksi yang sangat kuat dan ketat sekali terhadap serbuan produk/usaha dari negara lain demi untuk memajukan ekonomi, usaha, budaya, wisata dan produk dalam negeri mereka sendiri. Dan merekapun bangga dengan segala bentuk karya dan usaha masyarakat dan negara mereka sendiri, apapun jenis dan kualitasnya yang menyebar di setiap pelosok keanggunan bangunan bangunan kuno yang berdiri megah. Mall atau plaza juga sama kasusnya dengan nama nama “WAH” yang kita sebutkan tadi, hanya dapat dihitung dengan ujung jari.
Karena itu janganlah heran jika warga perancis hanya akan mencibir bila ditanya tentang nama nama “WAH” yang disebutkan diatas. Bagaimana dengan kita ? apakah akan mencibirinya juga ? tentu berpulang kepada kita masing masing. Bagaimana dengan pengambil keputusan/kebijakan kota kita ? hanya waktu yang akan menjawabnya. Walau demikian saya juga mencibiri mereka orang perancis ini, mengapa mereka tidak mencibiri perusahaannya yang memonopoli dinegara lain ? Semoga hal ini dapat menjadi renungan bersama bagi kita anak negeri, untuk tidak semakin mencibiri diri sendiri. (***)
SALUT…. SALUT…. SALUT…..
INDONESIA MENANTI ORANG SEPERTI SAUDARA
AGAR BANGSA INI TAK SELALU JADI OBJEK BANGSA ASING
DAN JUGA BANGSA INDONESIA SENDIRI YANG MEMANG TAK SADAR LEBIH SUKA “MENCIBIRI DIRI SENDIRI”
TULISAN YANG SANGAT MENCERAHKAN
SEKALI LAGI SALUT BUAT SAUDARA
kalo aku tetep donk… pilih warung padang!
terutama warung padang yang di dekat kampus…
Hidup warung padang! hidup samba lado mudo! hihihihi
yah bang, makanya bikin franchise, buka warung di lyon
aku mau dah bikin di paris sini, daripada warung indonesia disini, gak ada rasanya. dari situ kita bikin fastfood bangsa kita
macam fastfood nya tang-gourmet, biar saja mcD masuk negeri kita, asal kita juga aktif buka di tempat lain, sayangnya kita sering kebakaran jenggot, duluan, heheehe…
untung aje, gw kaga demen ama makanan sampah kaya gitu, cuman perlu juga pemerintah memprotek, tapi usaha makanan tradisional juga dibuat asiek, bersih cepat saji, n lezat biar maknyusgituloh
Betul Mas, E sori Abang ya maaf, dari jawa saya. Saya setuju nich dengan pendapatnya klo bukan kita siapa yang bisa bela Indonesia dan jangan kan nama masakan kita sudah dipakai mereka, Gimana setatus TEMPE makanan rakyat yang sudah mau dipatenkan orang luar dan bahan baku kedelai kita import dari Amerika ?????!!!!!