Memandang masyarakat adat, kita bak melakoni ceritera malin kundang anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Sebagaimana yang kita mahfumi dan ketahui bersama bahwasanya masyarakat adat telah berabad-abad ada di bumi nusantara, dia telah dulu ada sebagai masyarakat maupun organisasi yang dibentuk oleh nenek moyang kita mungkin walau dalam bentuk yang sederhana secara struktur tetapi secara filosofis dan hakikatnya jauh lebih besar dan bermartabat dibanding saat ini.
Jika kita renungi lebih khusyuk, sebenarnya kita semua anak bangsa yang hidup dibawah bendera Negara Indonesia adalah anak-anak adat yang bergelimang dosa, boleh dikatakan saat ini kita seluruh anak Indonesia sebagai seorang Malinkundang, anak yang durhaka terhadap orang tua dan moyangnya, karena memang orang tuanya secara ilmu pengetahuan modern jauh tertinggal dibanding sang anak yang telah melanglang buana keberbagai belahan dunia untuk mendapatkan pencerahan pengetahuan. Tetapi sayang akibat pengetahuan dan kekayaan materi yang dimiliki sang anak sehingga lupa mengembalikan harkat dan nilai-nilai luhur kehidupan yang dia tinggalkan ditanah leluhurnya. Dia lupa dia diizinkan merantau oleh orangtuanya tidak lain karena negerinya dijajah oleh bangsa asing yang memporakporandakan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang dibangun oleh moyangnya.
Namun sayang sang anak setelah mampu mengusir sang penjajah dan kembali ketanah luhurnya untuk menegakkan bendera yang bernama Indonesia lupa mengembalikan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang berlaku ditanah leluhurnya tersebut. Walau secara fisik dia mengutuk dan telah mampu mengusir sang penjajah tetapi ambigunya nilai-nilai yang ada pada sang penjajah juga dipraktekkannya kembali ketanah leluhurnya, sehingga sanak saudara kampung halamannya yang banyak terbelakang sama saja merasakan dalam alam penjajahan. Cuma sekarang dijajah oleh anak atau saudara sendiri.
Secara bernegara dan berbangsa Indonesia kita bersyukur sekali kita sudah bisa lepas dari penjajahan kolonial. Tetapi sesungguhnya dalam konteks negara Indonesia kita juga harus berterimakasih kepada sang penjajah, mungkin jika tidak ada penjajahan di bumi garis khatulistiwa ini mustahil kiranya ada negara Indonesia, sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia ada karena disebabkan oleh dua faktor yakni faktor munculnya semangat dan kesadaran oleh para pahlawan kusuma bangsa yang memompa semangat pergerakan kemerdekaan dan faktor merasa senasip sepenanggungan akibat penjajahan yang dilakukan oleh kolonial terhadap bumi leluhur. Bisa jadi jika tidak ada penjajahan tidak akan ada yang namanya Indonesia, yang ada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang berkembang dan menjelma menjadi republik atau negara-negara sendiri di kepulauan nusantara ini.
Namun sebagai kesatuan masyarakat adat yang dahulunya merupakan republik republik mini, kemerdekaan dan keberadaan Negara Indonesia dengan realita dan fakta kemelaratan dan kemiskinan yang terus mendera sampai saat ini, bisa jadi ini juga merupakan laknat dan mengutuk akan keberadaanya, karena sama saja keberadaan Negara Indonesia hanya perpanjangan dari penjajahan para kolonial. Cuma saja suasana bathin dan praktek penjajahannya tidak separah cara kolonial yang menghisap habis dan mengadu domba antar sesama.
Jika kolonial Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang yang pernah masuk ke nusantara, memang adalah orang dan bangsa asing dan tidak ada keterikatan secara batin dan genealogis sedikitpun, murni dirasakan sebuah penjajahan. Namun negara Indonesia saat ini yang menjajah adalah anak kandung sendiri, yang kita sendiri tidak tahu apakah ini faktor ketidaktahuan atau memang lupa terhadap asal usulnya sendiri, atau mental keserakahan, kemunafikan dan moral hazard sehingga bagi kesatuan masyarakat adat, secara hakiki sama saja lepas dari kandang buaya masuk ke kandang harimau.
Fakta sejarah telah mencatat dan menunjukkan betapa masyarakat adat, yang salah satu contoh organisasi pemerintahannya berupa desa selalu menjadi subordinasi, dikooptasi dan selalu menjadi objek penderita dari sang penguasa dan penjajah atau struktur supradesa yang lebih besar, kemerdekaan hakiki masyarakat desa dengan pemimpin dan komunitasnya dimanipulasi dan di jarah. Hal ini selalu berlanjut sejak zaman kerajaan, zaman kolonial, orde lama , orde baru dan berlangsung sampai era orde reformasi saat ini. Desa selalu menjadi lipstick, pemanis singgasana kekuasaan untuk selalu mempesonakan wajah kekuasaanya terhadap rakyat untuk diperjuangkan.
Fakta empirik ini dapat dilihat dalam Karya monumental Denys Lombard (1996) menggambarkan secara gamblang bagaimana kerajaan-kerajaan konsentris di zaman prakolonial melakukan penundukkan dan penaklukan terhadap Desa-desa di bumi Jawa, yang waktu itu masih disebut sima. Karya Frans Husken (1998) memberikan kisah berkelanjutan tentang kapitalisasi, eksploitasi dan diferensiasi sosial di Desa sejak masa kolonial. Karya Hans Antlov (1986), dengan tema “negara dalam Desa”, menggambarkan dengan jelas bagaimana sentralisme dan otoriarianisme negara bekerja di aras lokal. Karya Yando Zakaria, Abih Tandeh (2000), menunjukkan penghabisan dan penindasan negara terhadap masyarakat Desa di zaman Orde Baru. Sampai orde terkini saat ini dibahwa Presiden Joko Widodo, yang mana hal pengurusan dan pengaturan Desa secara struktur dinaikkan derajatnya kelevel sebuah kementerian yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, tetapi apakah secara substantif dan kualititatif akan menjadi solusi terbaik untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat yang ada di pedesaan ? Kita lihat bersama…
Foto : Alam nan asri, Dok.Pribadi.
Tinggalkan komentar